Lemari buku saya semakin penuh. Untuk menguranginya, satu per satu saya jual. Saya nggak nyangka ada yang mau beli buku bekas milik saya. Dari hasil penjualan itu, alhamdulillah saya bisa beli makan di akhir bulan.
Seiring berjalannya waktu, ada dua hal yang saya sesali. Pertama, kenapa uang penjualan buku nggak saya tabung. Padahal ada sekitar 10 lebih buku sukses terjual dengan harga 25-30 ribu per buku. Kedua, saya nggak bisa hemat. Ya sudah, biarlah yang lalu telah terjadi. Nasi sudah menjadi nasi goreng.
Baca juga:
Baca juga:
Meskipun beberapa buku sudah terjual, saya tetap membeli buku yang lain, bahkan sekarang lebih banyak dari sebelumnya. Saya jadi bingung. Niat saya jual buku biar buku di lemari saya berkurang.
Sekarang malah ditambah.
Gimana sih maunya saya.
Melihat kondisi begini, terbersit dalam pikiran saya, “Buku ini harus tetap bermanfaat, tapi saya nggak mau kehilangan mereka, tapi saya pengin ngurangin isi lemari.” Nah, kebanyakan kata “tapi”. Jadilah, saya terpikir sebuah rencana.
Buku ini harus dipinjamkan.
---
Saya punya pengalaman nggak enak tentang pinjam-meminjam buku. Kejadiannya ketika SMA.
Masa-masa itu adalah waktu di mana Dilan belum sepopuler sekarang. Yang namanya Dilan belum masuk layar lebar saat itu. Dilan masih terkenal di kalangan pembaca buku. Saya pun belum begitu tau karya-karya Pidi Baiq (penulis buku Dilan). Di medsos saya bersliweran testimoni betapa kerennya buku ini. Saya penasaran dengan isi buku Dilan 1990.
Sumber: melamoonkan.blogspot.com |
Pada masa itu pula, saya suka mengulik latar belakang seorang penulis. Masa-masa itu banyak banget buku yang tiba-tiba terkenal tanpa pernah saya dengar sebelumnya. Akhirnya, saya suka mencari nama penulisnya di internet, sudah berapa banyak karyanya, sudah seberapa sering dia menulis. Begitu indikator saya sebelum membeli suatu buku.
Pidi Baiq ternyata menulis cuplikan novel Dilan 1990 di blognya. Saya pikir, namanya cukup representatif juga. Baik sekali beliau. Saya iseng baca sekilas, ternyata bagus dan saya tertarik. Saya putuskan untuk beli novelnya, cetakan pertama.
Baca juga:
Baca juga:
Nggak lama setelah saya beli, Dilan meledak. Nggak, ini bukan karena bom buku. Novel Dilan 1990 terkenal, banyak yang baca, sampai best seller berminggu-minggu di Gramedia daerah saya. Teman-teman di kelas ngomongin hal yang sama. Walaupun saya belum selesai membacanya, apa yang mereka obrolkan saya paham. Saya sempat baca itu.
Sampai akhirnya, saya bilang, “Gue punya bukunya.”
Semuanya tampak biasa. Nggak ada ledakan bom buku. Saya nggak nyangka, dengan kalimat itu, malah membawa saya pada ujian kesabaran yang panjang.
---
“Minjem dong, Rob!” seorang teman berkata kepada saya.
Tanpa pikir panjang, saya langsung pinjami dia. Saya merasa keren. Saya bisa menarik orang membaca buku.
Saya bertanya-tanya, apakah ini pertanda saya diterima di pergaulan, begitu batin saya. Saya nggak masalah walaupun belum selesai membaca. Lagipula, ada buku yang lebih pengen saya baca dan sudah ngantre di reading list. Saya jadi tetap bisa baca buku.
Sekitar tiga pekan, teman saya itu laporan. “Rob, buku lu udah selesai.” Sebuah kabar baik tentunya. Ada orang bisa selesai membaca satu buku dalam satu bulan. Termasuk hal yang baik, bukan?
“Tapi si Mayang (nama samaran) mau pinjem katanya.”
Wah, ternyata laku juga nih buku pinjeman saya. Saya merasakan bahagia yang berbeda. Nggak tau, seneng aja rasanya. Saya izinkan Mayang buat pinjam, “Oke. Langsung pinjemin aja ke dia.”
Mayang kemudian meminjam buku saya kurang lebih sekitar dua bulan. Di sini awal mula saya merasa aneh. Ya di sini, bukan di situ. Kalau di situ ... kadang saya merasa sedih. Kayak lagu.
Kok Mayang lama banget ya pinjemnya. Saya hampir lupa pernah punya buku Dilan 1990.
Setelah Mayang selesai pinjam, Eri (nama samaran juga), teman saya yang lain, mau pinjam juga. Eri termasuk kutu beras buku. Saya percaya, buku ini bakal dia baca, bukan jadi ganjelan meja. Langsung saya izinkan.
Benar saja, Eri lebih cepat daripada yang lainnya. Eri cuma butuh waktu dua minggu buat menyelesaikannya. Saya apresiasi usahanya buat menyelesaikan buku itu. Ke mana-mana dia bawa bukunya. Saya tahu banget, dia tipe orang yang ambisius di kelas. Rajin juga. Di luar dugaan saya, dia orang yang cepat juga dalam membaca novel. Beberapa kali saya pergoki, buku saya lagi digulung kayak pentungan. Emang agak perih ngelihatnya, apalagi saya tipikal yang “sayang” sama buku. Dulu sempet ada buku yang lain dicoret-coret, saya hapus kenceng banget. Saking keselnya. Terus robek sedikit.
Bahkan, kalau ketemu saya, dia suka bercanda, “Hai, Dilanku. Gue mau jadi Mileanya dong.”
Kan... jadi gimana ya. Saya nggak punya jaket levis soalnya. Apalagi saya bukan anak motor. Jangankan anak motor, bisa ngendarai aja belum. Kalau anak boncengan motor, baru bener. Sesuai sama kesukaan saya: diboncengin.
Begitulah.
Satu hari Eri bilang ke saya, “Rob, ini bukunya udah selesai. Makasih ya.” Bersamaan dengan momen itu, ada teman saya lagi, Dita (masih nama samaran), bilang ke saya, “Eh, itu buku Dilan siapa?”
Hmmm. Tolong aku...
Eri spontan menjawab, “Punya Robby. Dilanku.” Saya shock.
Dita langsung bilang, “Mau pinjem dooong!”
Kapan bacanya kalau gini ceritanya?
Saya nggak enakan. Akhirnya saya kasih pinjam. Pasrah banget memang.
Dari orang ke orang, mungkin ada perbedaan dalam segi merespons mereka yang mau minjam. Orang-orang awal mungkin bisa saya respons dengan semangat, “Oh, boleh-boleh. Pinjem aja!” Lama-kelamaan, respons saya lesu, kayak orang belum sarapan pas upacara Senin, “Yaudah deh.”
Meskipun demikian, hari-hari berikutnya, saya seperti biasanya; nggak merasa ada yang aneh. Saya masih terus membaca buku-buku lainnya di rumah. Beberapa pekan kemudian, mulai muncul perasaan berat hati. Gelisah, khawatir, cemas, bak seorang ibu gelisah ayam-ayamnya belum balik kandang. Anaknya masih ngayap dibiarin.
Buku saya ke mana ya?
Buku itu akhirnya kembali setelah sekian lama. Saya lupa Dita pinjam berapa lama. Setelah dihitung-hitung, buku Dilan 1990 saya sudah keluar lemari satu tahun. Setelah kembali ke tangan, saya bertekad nggak akan pinjemin buku ini ke siapa pun. Alamat bakal nginep lama lagi.
Sesampainya buku itu kembali, saya langsung segera tamatkan. Biar seandainya buku ini berkelana lagi, saya udah nggak penasaran sama isi bukunya. Apalagi saat itu Dilan mulai jadi tokoh yang cukup terkenal. Ada rasa “pengen gaul” dalam diri saya ketika teman nanya, “Udah baca buku Dilan belom?”
“Udah! Udah setahun yang lalu, hey!”
Emang belum kelar, sih.
Benar saja. Beberapa tahun setelahnya, buku itu pindah ke tangan orang lain. Namun, kali ini buku itu nggak saya pinjamkan, tapi saya jual. Rasanya udah biasa aja sekarang kehilangan Dilan (eh kok aneh ya kalimatnya?). Udah terlatih setahun gitu lho.
Kalau Dilan pernah bilang ke Milea, “rindu itu berat”. Saya bilang, “rindu itu berat, suudzon lebih-lebih menyiksa.”
---
"Dilanku, Dilanmu, Dilan Kita Semua" adalah tulisan pertama dari rangkaian dari tulisan sebelumnya yang berjudul "Memeluk Buku-buku yang Bertumpuk". Kurang lebih ada empat tulisan lagi yang menceritakan saya dengan buku-buku yang bertumpuk di rumah. Update setiap Jumat 16.00 WIB.
---
"Dilanku, Dilanmu, Dilan Kita Semua" adalah tulisan pertama dari rangkaian dari tulisan sebelumnya yang berjudul "Memeluk Buku-buku yang Bertumpuk". Kurang lebih ada empat tulisan lagi yang menceritakan saya dengan buku-buku yang bertumpuk di rumah. Update setiap Jumat 16.00 WIB.
20 Comments
Hahahaha, lucu banget :)))
ReplyDeleteSaya juga punya pengalaman serupa, tapi jaman sekolah saya dulu, buku yang terkenal judulnya Dealova *beuh jadul banget* dan pada saat itu, novel ini salah satu novel yang mengangkat dunia pernovelan remaja di Indonesia ~ jadi booming berat. Dan tentu, buku yang saya punya pun berkelana ke mana-mana hingga nggak tau jalan pulang sampai sekarang alias sudah hilang entah terakhir dipinjam siapa :"""D
Untung (masih ada untungnya) saya sudah baca sampai tamat, jadi yasudah saya ikhlaskan saja ~ begitu cerita saya mas Robby, ditunggu lanjutan proyek ceritanya, ya :D semangat!
Cerita kita hampir mirip ya mbak. Huehehe
DeletePas baca judulnya, saya kira bakal ngasih resensi buku Dilan. Ternyata bahas kisah peminjaman bukunya ya. Udah lama juga sih itu kalo pas SMA, kerennya masih bisa ingat alur siapa-siapa yang minjemnya😂
ReplyDeleteMemang banget, kalo buku dipinjem gak dijaga dengan baik ada rasa perih di dada. Seperti, digulunglah, dilipet-lipet kertasnya, dicoretlah, atau kesobek gak sengaja. Wah itu bikin kesel jadinya, awalnya senang minjamin ke orang eh malah males mau minjaminnya lagi haha
Sambil merawat ingatan itu. 😁
DeleteKiraim saya aja yang merasa begitu haha
Untuk seorang kutu buku tapi baru selesai dua minggu baca Dilan 1990, saya cukup kaget. Saya bukan orang yang doyan baca, tapi saya selesai baca Dilan 1990 cuma dalam waktu dua hari. Muehehehe
ReplyDeleteWoooh salut bang Firman
DeleteYa kan dia masih anak sekolah statusnya, Man. Mungkin aja dia masih memprioritaskan tugas-tugas. Gue enggak pernah mengklaim diri sendiri sebagai kutu buku, tapi ada juga buku 200 halaman yang kelar dalam sekali duduk. Iya, gue duduknya selama 5-6 jam. Hahaha.
DeleteKuat bener bang duduk selama itu :D
DeleteIya juga ya. Gue juga pernah tuh ngabisin buku 200-an halaman sekali duduk. Buku komedi. Kalau yang isinya selain komedi sepertinya agak susah diselesaikan sekali duduk kalau halamannya setebal itu.
DeleteSaya suka baca tpinya baca novel ,dan cerpen aja:D, tapi itu dulu, kalo masalah pinjam meminjam sih kebanyakan dulu di perpus, jadul bangeet yaak, jarang banget pinjam atau mi jamin, takutnya ilang ato lupa, campur ga rela kalo rusak
ReplyDeletePinjam di perpus kalau saya biasanya buku pelajaran aja. Karena di sekolah emang nggak ada buku selain itu huhehe
DeleteKalo soal buku sepertinya teman saya jarang sekali yang pinjam, tapi kalo buku komik banyak yang pinjam.
ReplyDeleteContohnya komik legenda naga, itu dari satu teman ke teman lainnya pada pinjam. Tapi sebelumnya sudah aku baca dulu sih
Tapi kalo sudah pinjam malah kadang lupa mengembalikan, setelah setahun baru dikembalikan.😓
Setahun dong, lama juga ya 😁
DeleteMungkin bisa nggak ngenalin kalau itu buku sendiri
Begitulah, dan biasanya kalo minjam bukan hanya satu dua tapi sepaket. Katanya biar komplit bacanya. Lha saya bagaimana dong kalo mau baca.😂
DeleteWahahaha, pindah semua itu bukunya :D
DeleteWah iya, balik lagi mbak Mayang ke sini. :D
ReplyDeleteKayaknya memang buku itu tetap laku ya walaupun bekas..
Udah pernah denger curhatannya di grup, tapi di tulisan ini lebih berasa ngenesnya. Begitulah nasib buku yang dibawa ke sekolahan dan pindah-pindah tangan. Di kampus juga pernah kejadian begitu, terus akhirnya buku itu ketumpahan kopi dong. Setelah dijemur dan kering, jelas kertasnya jadi rada keriting. Mau marah atau minta ganti rugi juga rasanya gimana gitu.
ReplyDeleteMakanya sejak itu gue mending meminjamkan secara pribadi aja, atau kalau perlu dia main ke rumah dan bacanya di tempat.
Oh iya, pernah cerita ini di WIRDY. Pantes jadi merasa lebih luwes ceritanya :D
DeleteCara terakhir keren juga. Biar rumah dikunjungi orang
Saya kenal Dilan lewat cuitanmu di Twitter. Terus beli dan baca sebelum nama Dilan ada dimana-mana.
ReplyDeleteDari tulisanmu tentang pinjam-meminjam buku, saya jadi kepengen bahas juga nih. Hahaha. Jadi kalo ada teman yang mau minjam, setidaknya ada rujukan dari empunya buku dulu. Hahaha. Tapi bener kata bang Firmaan, sebagai orang yang ngga kutu buku baca Dilan tidak selama itu. Dua minggu bisa baca dua sampai tiga kali.
Wah iya? Gak nyangka twit saya berpengaruh :D
DeleteKuat juga kamu Rahul. Saya gak bisa tahan duduk lama-lama baca buku hehehe
Terima kasih sudah membaca. Mari berbagi bersama di kolom komentar.
Emoji