Kata orang-orang bijak, sebuah rencana harus punya rencana cadangan biar seandainya gagal masih punya harapan. Begitu juga dengan memilih jurusan kuliah, yang nggak ada habis-habisnya disampaikan guru BK di kelas, “Kamu boleh fokus dengan satu jurusan. Tapi, nggak kalah penting buat punya rencana cadangan.” Begitu kira-kira yang dibilang.
Mengenai mencari rencana cadangan kuliah, gue masih bingung mau kuliah di jurusan apa selain Pendidikan Kimia. Jurusan itu masih jadi satu-satunya yang gue yakin bakal meraihnya. Tapi, kalau semuanya gagal, gue harus bagaimana? Setiap kali melihat grup-grup sharing tentang masuk kuliah, banyak banget orang yang cerita tentang kegagalannya berkali-kali buat masuk PTN. Rasa takut mulai menghantui gue. Apalagi setelah tau kalau gue nggak dapat jatah kuota jalur undangan.
Ungkapan itu seringkali punya dua makna buat gue: 1) Memotivasi gue buat terus berjuang, 2) KOK NAKUTIN YA?
Mungkin orang itu nggak bisa masuk PTN, tapi nunggu setahun, mengisi waktu dengan bekerja. Gue sendiri sadar, gue nggak punya keahlian apa-apa. Kalau gue maksa untuk kerja, gue bakalan sering nggak betah karena keinginan gue tetap mau kuliah.
Ketika itu, Yoga Akbar nanya gue untuk sedikit diskusi di motornya yang sedang melaju. “Menurut lu, setelah lulus SMA itu bagusnya langsung kuliah atau jeda dulu kuliahnya?”
Obrolan ini mengingatkan gue sebelumnya pada salah satu episode di Podcast Awal Minggu. Adriano Qalbi, host-nya, ngomongin soal kuliah versus kerja dulu. Diberi pertanyaan begini, gue merasa lagi ngepodcast bareng Yoga Akbar di motor.
“Kalau menurut gue, sih, lebih baik langsung. Soalnya ilmunya masih inget. Kalau dijeda dulu takut lupa-lupa,” jawab gue.
Gue memang lebih memilih kuliah daripada kerja. Hal yang juga didukung oleh Mas Arif, kakak gue.
“Masuk swasta aja kalau nggak dapat negeri. Ngapain kerja dulu, nanti lupa kuliah kalau udah kenal duit.”
“Tapi, kan, mahal.”
“Cari yang murah.”
Setiap inget perkataan “cari yang murah”, gue selalu ingat brosur-brosur kampus swasta yang nggak bisa gue bedain dengan brosur cicilan motor.
Kakak gue adalah seorang guru. Dia peduli banget sama pendidikan gue. Waktu SMP, dia mau gue masuk SMP yang bagus. Beranjak ke SMA, gue ditekan terus untuk masuk SMA favorit. Untuk kasus di SMA, gue malah sependapat karena SMA itu juga jadi incaran gue. Tapi, untuk kuliah, entah kenapa dia suka ngasih saran yang nggak pernah satu tujuan sama gue.
“Lu kenapa nggak nyoba STAN? Noh, Mas Itu (menyebut nama saudara) aja bisa masuk STAN.”
“Nggak ah. Mau jadi guru,” jawab gue, yakin.
“Jadi guru mah gajinya kecil.” Sepertinya dia lupa kalau profesinya adalah seorang guru. Gue kabur setiap dia bilang kayak gitu. Bahkan sampai-sampai gue lari ke kamar mandi karena nggak tahan dengan penilaiannya dengan cita-cita menjadi guru. Di kamar mandi, gue ngeguyur kepala sesering-seringnya, sambil nahan suara biar nggak ketahuan sedang nangis. Memang cengeng.
Omongannya itu pelan-pelan membuat gue mikir ulang buat nyari jurusan kuliah yang lain. Pernah satu kali gue bilang, “Mau Pertanian!” setelah dia tanya “Mau masuk jurusan apa?”—yang ke sekian kalinya. Dia cuma jawab, “Ngapain? Nggak bisa kerja di kota.”
“Tapi, kan...”
“Teknik Kimia aja. Bagus, nih,” katanya sambil scrolling di laptop gue. Dia membaca artikel “Jurusan Potensial Kimia”.
“Nggak bisa Fisika, Mas,” kata gue.
“Ya udah, STAN aja, STAN.”
Gue kabur lagi ke kamar mandi.
Menjelang tes-tes perguruan tinggi banyak orang yang jadi doyan bahas dan tanya soal. Gue bukannya nggak suka, tapi kesel aja waktu temen gue nanya, “Tadi soal ulangan gimana?” saat gue mau takbiratul ihram. Ini mau solat, lho, padahal.
Orang-orang bukannya istirahat malah ngisi buku soal latihan. Gue mau berusaha ngikutin gaya mereka, tapi nggak sanggup dan lebih milih baca buku Sherlock Holmes yang disimpan di loker kelas. Baru dua halaman baca, gue gelar karpet di belakang kelas. Tidur. Rasanya emang paling enak siang-siang tidur di kelas nungguin guru masuk.
Kebiasaan di lingkungan gue yang begitu aneh ini membuat gue sedikit terpengaruh. Gue jadi ikut-ikutan doyan ngerjain soal latihan buat UN. Untuk persiapan SBMPTN sendiri, paling yang gue kerjakan cuma latihan soal-soal Tes Potensi Akademik (TPA). Artinya, gue juga aneh dong? Bodo amat deh.
Lingkungan juga memengaruhi gue untuk ikut-ikutan mau coba STAN. Apalagi setelah dua teman sekelas, Rohim dan Diki, bilang mau nyoba daftar STAN. Saat itu, kondisi gue sangat tidak ada minat ke STAN.
“Ayolah, coba aja, By,” hasut Diki
“Iya. Coba aja dulu yuk.” Rohim ikutan menghasut.
“Gue bingung, nih. Gue tetep mau perjuangin pilihan sejak lama.”
Yang gue maksud adalah Pendidikan Kimia.
Diki mengatakan nasihat bijaknya sebagai mantan ketua OSIS. “Coba aja semuanya yang bisa dimasukin. Nggak ada yang tahu nanti kita masuk mana.”
Meskipun kalimatnya agak ambigu, perkataannya benar adanya ketika gue ingat lagi salah satu event di game Harvest Moon Back To Nature. Event itu adalah lomba balap kuda. Kita sebagai pemain hanya dapat bertaruh di event tersebut dan bebas memilih mana saja tanpa batasan. Semua kuda bisa dipertaruhkan, tapi yang membedakan adalah kuda itu akan membawa keuntungan yang beda-beda—harga menangnya berbeda.
Gue melihat hal ini sebagai salah satu jalan buat menghindari nganggur, eh buat kuliah. Coba dulu aja deh, biar nggak penasaran.
Pada suatu kelas pelajaran BK, di hadapan gue ada buku fotokopian yang di halamannya ada banyak banget nama-nama perguruan tinggi, baik negeri maupun kedinasan. Semua yang ada di buku tersebut tetap nggak ada yang menarik hati gue. Waktu itu keinginan gue masih mantap mau masuk Pendidikan Kimia. Jadi, setelah lihat semua jurusan yang ada, gue nggak tertarik lagi. Lagipula, sebelumnya gue sudah googling mengenai kampus yang punya program studi Pendidikan Kimia, utamanya Pendidikan Kimia UNJ.
Sembari menghabiskan waktu, gue membuka lembar-lembar berikutnya. Lembar itu isinya daftar perguruan tinggi kedinasan. Tertulis paling atas “Akademi Kimia Analisis”.
Kedinasan bidang kimia? Demi apa ada yang kayak gini? batin gue.
Pulang sekolah gue segera mencari informasi mengenai Akademi Kimia Analisis (AKA) yang letaknya ada di Bogor. Setelah gue cari tahu, AKA Bogor bukanlah perguruan tinggi kedinasan, melainkan perguruan tinggi yang berada di bawah naungan Kementerian Perindustrian. Entah benar atau nggak apa yang gue tahu saat itu, gue mulai tertarik mencoba daftar hanya karena ada kimia-nya. Di website-nya, masih ada jalur rapor untuk masuk. Cukup SNMPTN saja yang menutup kesempatan gue kuliah lewat jalur rapor, AKA Bogor jangan.
Setelah melengkapi pemberkasan dan mengirimnya ke kantor pos, gue masih harus menunggu waktu sekitar 1,5 bulan untuk menanti pengumuman. Kakak gue mendukung apa yang gue lakukan. “Bagus!” serunya. “Kalau masuk situ, lu bisa langsung kerja di Badan POM.”
“Ehm, nggak cuma itu, sih,” sanggah gue. “Paling di pabrik makanan.”
Ketika mendaftar AKA Bogor, gue diharuskan memilih dua pilihan jurusan. Di Politeknik AKA Bogor, hanya ada tiga jurusan, yaitu Analisis Kimia, Penjaminan Mutu Industri Pangan, dan Pengolahan Limbah Industri. Ketiganya adalah program diploma III. Pilihan pertama gue sudah pasti Analisis Kimia. Sekarang gue bingung milih apa di slot kedua.
“Pak, menurut Bapak, Robby pilih apa? Limbah industri atau pangan?” tanya gue kepada Bapak. Dia paling jago ketika dimintain saran. Terutama saran atas pertanyaan paling sering gue tanyakan di rumah: “Pak, sayur tadi pagi boleh dimakan lagi nggak?”
Sejujurnya, gue nggak mau bertanya hal ini. Gue punya kebiasaan nggak akan pernah cerita ke siapa-siapa tentang apa yang sedang gue lakukan dan rencanakan. Di akhirnya, gue tinggal minta izin untuk beraksi. Jadi, bagi gue, izin adalah nomor terakhir. Namun, minta pendapat kali ini rasanya penting.
“Limbah industri malah bahaya. Pangan aja lebih enak. Limbah kan banyak terpapar bahan kimia, gitu.”
Gue mengikuti perkataannya tanpa banyak ngomong “tapi”. Siapa tau, dengan gue mengikuti perkataannya gue bisa masuk sini dan terhindar dari nganggur.
Pilihan pertama: Analisis Kimia
Pilihan kedua: Penjaminan Mutu Industri Pangan.
Kirim deh lewat kantor pos!
Sekarang gue sudah punya pilihan untuk kuliah: Pendidikan Kimia, AKA Bogor, dan STAN.
Di antara ketiga itu, sama sekali gue nggak masukin target “Nilai UN rata-rata 9” dalam tujuan jangka pendek. Bagi gue, UN udah nggak ada rasanya lagi karena nggak menentukan kelulusan. Nggak peduli banget pokoknya. Yang ada di pikiran gue hanyalah tiga hal tadi. Bagaimana cara gue buat masuk sana?
Untuk STAN, mengikuti langkah awal teman-teman gue yang lain, gue membeli buku latihan soal masuk STAN di alumni yang berhasil masuk STAN. Setelah buku berhasil didapatkan, gue bersemangat 45 membuka lembar-lembar buku itu. Baunya enak. Jangan-jangan begini baunya parfum anak STAN. Halah, berkhayal kejauhan.
Paket soal pertama gue coba. Gue langsung lompat ke soal Bahasa Indonesia karena gue paham kemampuan Matematika gue tidak sehebat Einstein. Soalnya masih gue mengerti. Lalu gue pindah ke soal hitung-hitungan. Berkali-kali baca soalnya gue nggak ngerti, lalu kabur guyuran ke kamar mandi.
Mungkin di situ kesalahannya: Niat gue mau masuk STAN cuma ikut-ikutan. Selain itu, mungkin gue hanya mau membuktikan ke kakak gue bahwa gue siap (pura-pura) berjuang masuk STAN. Tanpa pikir panjang, gue nggak akan melanjutkan perjuangan untuk masuk STAN. STAN dan kimia sangatlah beda. Gue melihat buku soal bersampul hitam itu—buku soal STAN. Enaknya diapain, ya, ini buku?
Dengan menjual buku latihan soal STAN ke seorang teman, gue resmi mundur dari persaingan masuk STAN. Pilihan gue sekarang tinggal AKA Bogor dan Pendidikan Kimia. Pengumuman AKA Bogor pun sudah semakin dekat.
Gue sengaja bangun pagi untuk melihat pengumuman seleksi rapor AKA Bogor. Dengan kecepatan 4G dari Bolt, sangat mudah untuk gue mengetahui pengumuman dari AKA Bogor. Pengumuman dibuat dalam format pdf. Dua file pengumuman program studi D3 Analisis Kimia dan D3 Penjaminan Mutu Industri Pangan gue download. Gue harus melihat nama gue di pilihan pertama: Analisis Kimia.
Scroll.
Scroll.
Halaman kedua.
Scroll.
Halaman ketiga.
Scroll.
Habis.
Nama gue nggak ada. Oke, mungkin di pilihan kedua.
Gue lakukan hal yang sama seperti sebelumnya, hasilnya sama. Nama gue tetap tidak ada. Gue patah hati lagi setelah nggak dapat kuota jalur undangan PTN (SNMPTN). Gue melihat pengumuman lanjutan yang memberikan sedikit harapan:
“Bagi yang belum berhasil dalam jalur rapor, silakan mencoba kembali di tes tertulis pada tanggal 13 Mei 2017 tanpa membayar uang pendaftaran”.
Gue nggak lari lagi ke kamar mandi untuk guyuran.
---
Tulisan ini masih berupa kilas balik beberapa bulan lalu saat gue kelas 12. Cerita yang lain sebelumnya sudah gue tulis di label "Menuju PTN".
Mengenai mencari rencana cadangan kuliah, gue masih bingung mau kuliah di jurusan apa selain Pendidikan Kimia. Jurusan itu masih jadi satu-satunya yang gue yakin bakal meraihnya. Tapi, kalau semuanya gagal, gue harus bagaimana? Setiap kali melihat grup-grup sharing tentang masuk kuliah, banyak banget orang yang cerita tentang kegagalannya berkali-kali buat masuk PTN. Rasa takut mulai menghantui gue. Apalagi setelah tau kalau gue nggak dapat jatah kuota jalur undangan.
Disuruh SBMPTN. |
Saya sudah mencoba SBMPTN (tes tulis) tahun kemarin. Hasilnya gagal. Saya pernah coba jalur undangan gagal juga. Ini tahun terakhir saya punya kesempatan ikut jalur tes masuk PTN. Kalau gagal juga ... saya berjuang di arena Benteng Takeshi aja deh. :(
Ungkapan itu seringkali punya dua makna buat gue: 1) Memotivasi gue buat terus berjuang, 2) KOK NAKUTIN YA?
Mungkin orang itu nggak bisa masuk PTN, tapi nunggu setahun, mengisi waktu dengan bekerja. Gue sendiri sadar, gue nggak punya keahlian apa-apa. Kalau gue maksa untuk kerja, gue bakalan sering nggak betah karena keinginan gue tetap mau kuliah.
Ketika itu, Yoga Akbar nanya gue untuk sedikit diskusi di motornya yang sedang melaju. “Menurut lu, setelah lulus SMA itu bagusnya langsung kuliah atau jeda dulu kuliahnya?”
Obrolan ini mengingatkan gue sebelumnya pada salah satu episode di Podcast Awal Minggu. Adriano Qalbi, host-nya, ngomongin soal kuliah versus kerja dulu. Diberi pertanyaan begini, gue merasa lagi ngepodcast bareng Yoga Akbar di motor.
“Kalau menurut gue, sih, lebih baik langsung. Soalnya ilmunya masih inget. Kalau dijeda dulu takut lupa-lupa,” jawab gue.
Gue memang lebih memilih kuliah daripada kerja. Hal yang juga didukung oleh Mas Arif, kakak gue.
“Masuk swasta aja kalau nggak dapat negeri. Ngapain kerja dulu, nanti lupa kuliah kalau udah kenal duit.”
“Tapi, kan, mahal.”
“Cari yang murah.”
Setiap inget perkataan “cari yang murah”, gue selalu ingat brosur-brosur kampus swasta yang nggak bisa gue bedain dengan brosur cicilan motor.
***
“Lu kenapa nggak nyoba STAN? Noh, Mas Itu (menyebut nama saudara) aja bisa masuk STAN.”
“Nggak ah. Mau jadi guru,” jawab gue, yakin.
“Jadi guru mah gajinya kecil.” Sepertinya dia lupa kalau profesinya adalah seorang guru. Gue kabur setiap dia bilang kayak gitu. Bahkan sampai-sampai gue lari ke kamar mandi karena nggak tahan dengan penilaiannya dengan cita-cita menjadi guru. Di kamar mandi, gue ngeguyur kepala sesering-seringnya, sambil nahan suara biar nggak ketahuan sedang nangis. Memang cengeng.
Omongannya itu pelan-pelan membuat gue mikir ulang buat nyari jurusan kuliah yang lain. Pernah satu kali gue bilang, “Mau Pertanian!” setelah dia tanya “Mau masuk jurusan apa?”—yang ke sekian kalinya. Dia cuma jawab, “Ngapain? Nggak bisa kerja di kota.”
“Tapi, kan...”
“Teknik Kimia aja. Bagus, nih,” katanya sambil scrolling di laptop gue. Dia membaca artikel “Jurusan Potensial Kimia”.
“Nggak bisa Fisika, Mas,” kata gue.
“Ya udah, STAN aja, STAN.”
Gue kabur lagi ke kamar mandi.
***
Menjelang tes-tes perguruan tinggi banyak orang yang jadi doyan bahas dan tanya soal. Gue bukannya nggak suka, tapi kesel aja waktu temen gue nanya, “Tadi soal ulangan gimana?” saat gue mau takbiratul ihram. Ini mau solat, lho, padahal.
Orang-orang bukannya istirahat malah ngisi buku soal latihan. Gue mau berusaha ngikutin gaya mereka, tapi nggak sanggup dan lebih milih baca buku Sherlock Holmes yang disimpan di loker kelas. Baru dua halaman baca, gue gelar karpet di belakang kelas. Tidur. Rasanya emang paling enak siang-siang tidur di kelas nungguin guru masuk.
Kebiasaan di lingkungan gue yang begitu aneh ini membuat gue sedikit terpengaruh. Gue jadi ikut-ikutan doyan ngerjain soal latihan buat UN. Untuk persiapan SBMPTN sendiri, paling yang gue kerjakan cuma latihan soal-soal Tes Potensi Akademik (TPA). Artinya, gue juga aneh dong? Bodo amat deh.
Lingkungan juga memengaruhi gue untuk ikut-ikutan mau coba STAN. Apalagi setelah dua teman sekelas, Rohim dan Diki, bilang mau nyoba daftar STAN. Saat itu, kondisi gue sangat tidak ada minat ke STAN.
“Ayolah, coba aja, By,” hasut Diki
“Iya. Coba aja dulu yuk.” Rohim ikutan menghasut.
“Gue bingung, nih. Gue tetep mau perjuangin pilihan sejak lama.”
Yang gue maksud adalah Pendidikan Kimia.
Diki mengatakan nasihat bijaknya sebagai mantan ketua OSIS. “Coba aja semuanya yang bisa dimasukin. Nggak ada yang tahu nanti kita masuk mana.”
Meskipun kalimatnya agak ambigu, perkataannya benar adanya ketika gue ingat lagi salah satu event di game Harvest Moon Back To Nature. Event itu adalah lomba balap kuda. Kita sebagai pemain hanya dapat bertaruh di event tersebut dan bebas memilih mana saja tanpa batasan. Semua kuda bisa dipertaruhkan, tapi yang membedakan adalah kuda itu akan membawa keuntungan yang beda-beda—harga menangnya berbeda.
Gue melihat hal ini sebagai salah satu jalan buat menghindari nganggur, eh buat kuliah. Coba dulu aja deh, biar nggak penasaran.
***
Pada suatu kelas pelajaran BK, di hadapan gue ada buku fotokopian yang di halamannya ada banyak banget nama-nama perguruan tinggi, baik negeri maupun kedinasan. Semua yang ada di buku tersebut tetap nggak ada yang menarik hati gue. Waktu itu keinginan gue masih mantap mau masuk Pendidikan Kimia. Jadi, setelah lihat semua jurusan yang ada, gue nggak tertarik lagi. Lagipula, sebelumnya gue sudah googling mengenai kampus yang punya program studi Pendidikan Kimia, utamanya Pendidikan Kimia UNJ.
Sembari menghabiskan waktu, gue membuka lembar-lembar berikutnya. Lembar itu isinya daftar perguruan tinggi kedinasan. Tertulis paling atas “Akademi Kimia Analisis”.
Kedinasan bidang kimia? Demi apa ada yang kayak gini? batin gue.
Pulang sekolah gue segera mencari informasi mengenai Akademi Kimia Analisis (AKA) yang letaknya ada di Bogor. Setelah gue cari tahu, AKA Bogor bukanlah perguruan tinggi kedinasan, melainkan perguruan tinggi yang berada di bawah naungan Kementerian Perindustrian. Entah benar atau nggak apa yang gue tahu saat itu, gue mulai tertarik mencoba daftar hanya karena ada kimia-nya. Di website-nya, masih ada jalur rapor untuk masuk. Cukup SNMPTN saja yang menutup kesempatan gue kuliah lewat jalur rapor, AKA Bogor jangan.
Setelah melengkapi pemberkasan dan mengirimnya ke kantor pos, gue masih harus menunggu waktu sekitar 1,5 bulan untuk menanti pengumuman. Kakak gue mendukung apa yang gue lakukan. “Bagus!” serunya. “Kalau masuk situ, lu bisa langsung kerja di Badan POM.”
“Ehm, nggak cuma itu, sih,” sanggah gue. “Paling di pabrik makanan.”
Ketika mendaftar AKA Bogor, gue diharuskan memilih dua pilihan jurusan. Di Politeknik AKA Bogor, hanya ada tiga jurusan, yaitu Analisis Kimia, Penjaminan Mutu Industri Pangan, dan Pengolahan Limbah Industri. Ketiganya adalah program diploma III. Pilihan pertama gue sudah pasti Analisis Kimia. Sekarang gue bingung milih apa di slot kedua.
“Pak, menurut Bapak, Robby pilih apa? Limbah industri atau pangan?” tanya gue kepada Bapak. Dia paling jago ketika dimintain saran. Terutama saran atas pertanyaan paling sering gue tanyakan di rumah: “Pak, sayur tadi pagi boleh dimakan lagi nggak?”
Sejujurnya, gue nggak mau bertanya hal ini. Gue punya kebiasaan nggak akan pernah cerita ke siapa-siapa tentang apa yang sedang gue lakukan dan rencanakan. Di akhirnya, gue tinggal minta izin untuk beraksi. Jadi, bagi gue, izin adalah nomor terakhir. Namun, minta pendapat kali ini rasanya penting.
“Limbah industri malah bahaya. Pangan aja lebih enak. Limbah kan banyak terpapar bahan kimia, gitu.”
Gue mengikuti perkataannya tanpa banyak ngomong “tapi”. Siapa tau, dengan gue mengikuti perkataannya gue bisa masuk sini dan terhindar dari nganggur.
Pilihan pertama: Analisis Kimia
Pilihan kedua: Penjaminan Mutu Industri Pangan.
Kirim deh lewat kantor pos!
***
Di antara ketiga itu, sama sekali gue nggak masukin target “Nilai UN rata-rata 9” dalam tujuan jangka pendek. Bagi gue, UN udah nggak ada rasanya lagi karena nggak menentukan kelulusan. Nggak peduli banget pokoknya. Yang ada di pikiran gue hanyalah tiga hal tadi. Bagaimana cara gue buat masuk sana?
Untuk STAN, mengikuti langkah awal teman-teman gue yang lain, gue membeli buku latihan soal masuk STAN di alumni yang berhasil masuk STAN. Setelah buku berhasil didapatkan, gue bersemangat 45 membuka lembar-lembar buku itu. Baunya enak. Jangan-jangan begini baunya parfum anak STAN. Halah, berkhayal kejauhan.
Paket soal pertama gue coba. Gue langsung lompat ke soal Bahasa Indonesia karena gue paham kemampuan Matematika gue tidak sehebat Einstein. Soalnya masih gue mengerti. Lalu gue pindah ke soal hitung-hitungan. Berkali-kali baca soalnya gue nggak ngerti, lalu kabur guyuran ke kamar mandi.
Mungkin di situ kesalahannya: Niat gue mau masuk STAN cuma ikut-ikutan. Selain itu, mungkin gue hanya mau membuktikan ke kakak gue bahwa gue siap (pura-pura) berjuang masuk STAN. Tanpa pikir panjang, gue nggak akan melanjutkan perjuangan untuk masuk STAN. STAN dan kimia sangatlah beda. Gue melihat buku soal bersampul hitam itu—buku soal STAN. Enaknya diapain, ya, ini buku?
***
Dengan menjual buku latihan soal STAN ke seorang teman, gue resmi mundur dari persaingan masuk STAN. Pilihan gue sekarang tinggal AKA Bogor dan Pendidikan Kimia. Pengumuman AKA Bogor pun sudah semakin dekat.
Gue sengaja bangun pagi untuk melihat pengumuman seleksi rapor AKA Bogor. Dengan kecepatan 4G dari Bolt, sangat mudah untuk gue mengetahui pengumuman dari AKA Bogor. Pengumuman dibuat dalam format pdf. Dua file pengumuman program studi D3 Analisis Kimia dan D3 Penjaminan Mutu Industri Pangan gue download. Gue harus melihat nama gue di pilihan pertama: Analisis Kimia.
Scroll.
Scroll.
Halaman kedua.
Scroll.
Halaman ketiga.
Scroll.
Habis.
Nama gue nggak ada. Oke, mungkin di pilihan kedua.
Gue lakukan hal yang sama seperti sebelumnya, hasilnya sama. Nama gue tetap tidak ada. Gue patah hati lagi setelah nggak dapat kuota jalur undangan PTN (SNMPTN). Gue melihat pengumuman lanjutan yang memberikan sedikit harapan:
“Bagi yang belum berhasil dalam jalur rapor, silakan mencoba kembali di tes tertulis pada tanggal 13 Mei 2017 tanpa membayar uang pendaftaran”.
Gue nggak lari lagi ke kamar mandi untuk guyuran.
---
Tulisan ini masih berupa kilas balik beberapa bulan lalu saat gue kelas 12. Cerita yang lain sebelumnya sudah gue tulis di label "Menuju PTN".
25 Comments
Kalo lagi di kelas 12, baca-baca tulisan kayak gini tuh nambah semangat sekaligus ketakutan juga kalo gagal. Tapi seenggaknya ada energi positifnya :v.
ReplyDeleteBtw gua juga (pura-pura) berjuang masuk STAN dan karena ikutan kedua temen gua wkwk. Katanya lebih menjanjikan karena lulus langsung jadi PNS. Tapi kayaknya gua bakal kayak lu Kak, ngejar jurusan yang dari dulu pengen banget. Semoga sih aman wkwk
Kalau kata temen, hal-hal kayak gini buat tau-tauan aja. Belajar dari pengalaman.
DeleteAamiin. Seru dah kelas 12 mah. :D
Akkk Robby ceritanya flashback perjuangan menuju bangku kuliah. Kamu senengnya pelajaran IPA ya ternyata sampai sematangnya gitu.
ReplyDeletePada akhirnya kamu pun bisa dapetin Pendidikan Kimia. Hehehe.
Ah kata siapa jadi guru gajinya kecil. Kalau kita bersyukur mah gaji segitu bakal cukup kok. Hehe.
Eh btw napa pada niat banget ya pada ngajakin kamu buat ikut ke STAN, padahal kan minatmu jauh banget dari itu...
DeleteAamiin. Iya, di sekolah dulu banyak banget yang mauin STAN. Hits banget lah pokoknya.
Deletekalau aku dulu lebih milih kerja dulu, eh keterusan jdi kerja aja :D
ReplyDeleteSetidaknya masih ada yang dilakukan. Hehehe. Daripada tidur aja di rumah.
DeleteKeren.
ReplyDeleteSemua anak di dunia ini keren.
Tinggal dimana bagian ke kerenan itu bisa di boost sedemikian rupa.
Anda anak yang teguh ya ternyata. Gue dukung lo jadi guru Kimia dek. Selama ini kan Kimia masuk jajaran mapel yang bikin spanneng. Dengan adanya elu sebagai calon guru Kimia, gue berharap mapel Kimia bisa berubah menjadi ajang seru2an bercengkrama manis dengan unsur2 alam.
Gimana caranya nanti lo menyajikan materi Kimia se segar artikel2 lu di blog ini. Gue tantang ya. Iyain.
Wah, aamiin ya robbal alamin. :)
DeleteTantangan ditampung dulu ya. Hahaha. :p
Kalo ini kilas balik, mungkin gue bisa jadi masa sekarangnya. Setelah beesemedi di gunung Everest, gue akhirnya menjatuhkan pilihan ke Sosiologi. Dan berniat untuk mulai belajar. Hyuuu~
ReplyDeleteNanti ada cerita SBMPTN! Biar bisa ngintip gimana rasanya SBMPTN. Hahaha. Semangat, Rahul!
DeleteHebat juga masih inget pertanyaan gue. Lah, gue sendiri jarang inget kalimat apa aja yang udah keluar dari mulut ini. :))
ReplyDeleteHampir mirip zaman gue baru lulus. Bedanya, gue dulu nggak punya rencana cadangan setelah lulus. Lalu tujuan utama gue: kerja. Kerja jadi admin yang duduk di depan komputer dalam ruangan ber-AC. Temen sering ngeledek, jaga warnet aja kalau gitu.
Namun, gue nggak peduli omongannya. Sayangnya, gue malah selalu gagal setiap melamar di bagian itu. Kebanyakan butuhnya cewek. Temen gue itu semakin seneng deh nyuruh jaga warnet. :D
Terus akhirnya gue mulai ngilangin sifat keras kepala. Kerja apa aja deh, yang penting halal. Tapi tetep, belasan perusahaan menolak. Setelah udah nggak tahu lagi mau ngapain, meski orang tua udah nyuruh kuliah aja dan ikut tes tertulis SNMPTN. Saat itulah gue malah dapet panggilan wawancara (yang bahkan udah lupa kalau pernah ngelamar), terus keterima kerja jadi admin pengolahan data di kantor pajak. Hahaha. Apa yang kita niatkan atau inginkan betul-betul di awal, justru terwujud. :')
Dan, cerita lu ini akhirnya begitu, kan? Udah bikin rencana cadangan, justru yang utama malah dapet. :)
Nggak inget betul kalimatnya. Cuma inti-intinya aja. Hehehe.
DeleteJahat bener dah temen lu. Nyamainnya sama operator warnet. Padahal warnet nggak semuanya ber-AC. Oh iya, itu kalimat kesimpulannya kok ngingetin sama Back to You-nya Dara Prayoga dah? :D
gue malah waktu itu mau nyoba STAN, eh malah gak ada buka. Pas gue sudah kuliah 2 semester, baru ada, dan tesnya pas-pasan gue UAS. Sial banget. :))
ReplyDeletesalut sama lo Rob yang bener-bener pengin jadi guru. Tapi ini beneran niat kan? bukan agar supaya bisa modusin dedek-dedek gemes sewaktu PLP? :))
Waktu itu sempet bilang "STAN bukan jalan gue" nggak?
DeleteItu tujuan nomor kesekian yang kemungkinan ada. :D
Gak dapat jatah snmptn emang nyebelin yak. Bedanya sama gue. Gue dapat jatah dari sekolah. Nah, dari kampusnya tapi yg gak di kasih jatah.
ReplyDeleteSaking streasnya karena gak lulus snmptn gue sampe mau nyoba daftar STAIN lu cari tau dah kampus apaan tuh.
Wah, bertepuk sebelah tangan jadinya. :(
DeleteSTAIN kayak UIN gitu bukan deh?
Terharu ngebaca jalan menuju perkulihannya. Baca ini aku jadi ingat dialog di trailer film My Generation. Di trailer itu bilang kalau orangtua sekarang ngukur masa depan pake duit, tanpa mikir kitanya maunya punya masa depan yang sesuai sama mimpi kita. Huhuhuu. Rasanya aku ingin memeluk erat adikku yang bersemangat, teguh pendirian, dan cenderung melankolis ini. Uuuuh.
ReplyDeleteAku ngerasa akhir-akhir ini aku dekat sama orang yang berkecimpung di dunia keguruan. Dih, gimana sih bahasanya. Pokoknya orang-orang yang jadi guru lah. Ada Mayang, blogger yang juga sebagai guru Fisika. Ada Arum, blogger yang kerja di Samarinda, jadi guru di SMK. Terus ada adekku sendiri, yang kuliah Pendidikan Bahasa Inggris dan ini lagi dalam masa PPL. Kalian keren-keren!
(((cenderung melankolis)))
DeleteOh iya yak. Banyak juga bloger yang nyemplung ke dunia keguruan. Hahaha.
Hahahaha jadi inget sendiri pengalam lulus SMA ku nggak langsung kuliah. Btw Rob, aku nganggur 1 tahun dulu loh. 1 tahun ku gunain buat belajar bahasa inggris dan buat nambah pengalaman hidup (ceileh).
ReplyDeleteSatu deh pertanyaanku: kamu kok kekeh banget mau jadi guru kenapa? Keren sih.
Wah, lebih bermanfaat itu. Alhamdulillah, hehehe.
DeleteJawaban itu ada di postingan sebelum-sebelumnya di label yang sama. :p
Itu STAn favorit ya di sekolah lo? Yang penting mah akhirnya bisa ngikutin kemauan sendiri. Kalo kemakan omongan orang, terus masuk. Nanti peernya pas udah nggak bareng-bareng lagi. Huahuahu.
ReplyDeleteTumben komen bener, Bang Adi. :p
DeleteUdah dong. Hahaha. Dia baik sebenernya!
ReplyDeleteIya,hahaha. Jangan nulis di sini. Di blog sendiri aja, lumayan nambah viewers.
Aamiin. Mantap sekali komennya Mbak Mayang ini. :)
mantap
ReplyDeleteserum wajah
Terima kasih sudah membaca. Mari berbagi bersama di kolom komentar.
Emoji