Kemampuan yang Dibutuhkan pada Budaya Baru Media

(Rangkuman artikel berjudul "Confronting the Challenges of Participatory Culture: Media Education for the 21st Century" ) 

Banyak anak muda yang belajar memanfaatkan teknologi dengan maksimal. Pada bagian awal bab, disebutkan beberapa contoh anak muda yang mengembangkan keterampilan dan pengetahuan melalui internet. Sebut saja, Heather Lawver, seorang pemuda berusia 14 tahun. Lawver membuat publikasi daring berupa koran sekolah untuk Hogwarts, sebuah sekolah dalam buku Harry Potter.


Blake Ross pernah bekerja paruh waktu di Netscape. Rasa tidak nyaman di perusahaannya itu membuat Ross mengembangkan dan merancang media peramban miliknya sendiri. Dengan berbekal pengalaman dan keterampilan, serta bantuan relawan, terciptalah Firefox yang kini sangat populer.


Keterlibatan pemuda dalam dunia internet sangat besar. Hadirnya internet memudahkan akses untuk mendapatkan sesuatu. Hasil penelitian Internet dan American Life pada tahun 2005 menyatakan bahwa lebih dari setengah dari semua remaja Amerika — dan 57 persen

remaja yang menggunakan internet — dapat dianggap sebagai pembuat media. Kehadiran internet pun bukan hanya erat kaitannya dengan masyarakat kota dan kaum kulit putih. Faktanya, 38 persen pemuda yang tinggal di pedesaan mampu menjadi pencipta media, berbeda tipis jumlahnya dengan pemuda perkotaan yang berjumlah 40 persen, dan unggul dibandingkan pemuda yang tinggal di pinggiran kota sebanyak 28 persen. 


Budaya Partisipasi


Budaya partisipasi mengubah fokus, dari ekspresi individu menjadi keterlibatan komunitas. Salah satu definisi budaya partisipasi adalah anggota percaya bahwa kontribusi mereka sangatlah penting. Anggota harus percaya bahwa mereka dapat berkontribusi kapan saja dan apa yang dikerjakan dihargai dengan pantas. 


Komunitas memberikan kesempatan untuk anggota berekspresi dengan bebas, serta berpartisipasi aktif. Di dalam komunitas, anak muda didorong untuk mengembangkan keterampilan, pengetahuan, kerangka etika, dan kepercayaan diri. 


Budaya partisipasi memiliki lingkungan belajar yang ideal. Gee (2004) menyebutnya sebagai "ruang afinitas". Ruang afinitas menawarkan kesempatan yang kuat untuk belajar karena hal tersebut, menurut Gee, mampu menjembatani usia, ras, jenis kelamin, dan tingkat pendidikan. Ruang afinitas juga merupakan lingkungan yang sangat generatif, tempat eksperimen estetika baru dan inovasi muncul.

Post a Comment

0 Comments