Nggak banyak orang yang rela meninggalkan segala kenikmatan dunianya. Sosok pemuda itu salah satunya. Pemuda ganteng idaman, tanpa pencitraan. Dia tampan, tapi nggak nakal. Pakaiannya rapi dan keren. Kalau ke luar rumah, parfumnya meninggalkan jejak di setiap jalan yang dilewatinya.
Dia lahir dalam keluarga yang berkecukupan. Orang tuanya selalu memberi fasilitas terbaik buat anak tercintanya. Kasih sayang dari ibunya nggak kekurangan. Kasih ibu tak terhingga sepanjang masa.
Namun, pemuda itu mengambil keputusan besar dalam hidupnya. Pemuda itu rela meninggalkan segala kemewahan itu. Dia mengambil satu pilihan besar pada suatu sore. Dia pergi ke satu tempat. Bukan kongko untuk ngopi-ngopi ganteng. Bukan juga untuk memotret senja sambil ngopi dan dengar lagu indie. Bukannya ke tempat-tempat gaul, pemuda itu datang ke suatu tempat terpencil. Jarang ada orang yang tahu tempat itu.
Alasannya sederhana. Dia pernah dengar kabar ada tempat keren di mana orang-orang bisa merasakan ketenangan luar biasa.
Duduklah dia di sudut ruangan tempat yang dimaksud. Seorang yang terkenal dengan sebutan Al-Amin itu membacakan ayat-ayat Alquran. Pemuda itu terpesona. Dia rasakan ketenangan dan kedamaian.
Dialah Mush’ab bin Umair.
Apa yang diyakini Mush’ab ketika itu sangat berbeda dengan apa yang diyakini ibunya. Mush’ab masih merahasiakan keyakinannya itu tanpa sepengetahuan ibunya tersayang. Dia merasa bahagia dengan apa yang sampai kepadanya. Mush’ab pun tahu apa konsekuensi dari pilihannya tersebut.
Ibu Mush’ab mendapat laporan dari Usman bin Thalhah kalau anaknya diam-diam mulai beribadah kepada Allah swt. Ibu Mush’ab kecewa karena Mush’ab.
Pada suatu kesempatan Mush’ab menyampaikan firman Allah di hadapan banyak orang. Di sana ada juga ibu dan sanak kerabatnya. Sontak ibunya marah dan mau menampar Mush’ab. Situasi memanas. Meskipun akhirnya nggak jadi karena rasa keibuannya. Sebagai pelajaran untuk anaknya, dia disekap dalam kamar. Dikurung.
Hingga pada suatu kesempatan Mush’ab berhasil keluar dari kurungan. Mush’ab pergi berhijrah ke Habasyah. Mush’ab bergabung bersama saudara-saudaranya sesama muhajirin. Keimanannya makin mantap dan segala kehidupannya diberikan untuk Sang Pencipta.
Suatu hari, dia menghampiri kaum muslimin yang tengah duduk bersama Rasulullah. Ingat betul mereka bagaimana penampilan keren dari Mush’ab, kini berubah menjadi sederhana dengan jubah penuh tambalan. Rasulullah menatapnya dengan pandangan penuh arti, disertai cinta kasih dan syukur dalam hati. Sabda Rasulullah, “Dahulu, tiada yang menandingi Mush’ab dalam mendapatkan kesenangan dari orang tuanya. Lalu semua itu dia tinggalkan demi cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya.”
Dalem banget kaan~
Balik lagi cerita ke ibunya Mush’ab. Beliau merasa putus asa untuk mencegah pilihan anaknya. Dia putus segala pemberian untuk anaknya. Sampai-sampai, ibu Mush’ab tak lagi menganggapnya sebagai anak. “Pergilah sesuka hatimu,” usirnya. “Aku bukan ibumu lagi!”
Mush’ab hanya bisa berkata, “Wahai ibu, aku sangat sayang ibu. Karena itu, bersaksilah bahwa tiada tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.”
Sang ibu menolak ajakan anaknya. Mush’ab pergi meninggalkan segala kenyamanannya serta kemewahan dalam hidupnya. Namun, tak ada sedikit rasa penyesalan karena semua itu tergantikan oleh kedamaian Islam. Dia pun menjadi orang yang dihormati, penuh wibawa, dan disegani. Hal tersebut terbukti ketika Mush’ab ditugaskan untuk berdakwah di Madinah.
Ada suatu momen yang luar biasa.
Saat sedang berdakwah di keramaian, seorang kepala suku bernama Usaid bin Hudhair marah karena ada orang menyampaikan suatu ajaran yang asing. Siapa nih, berani-beraninya ngajak rakyatku, kira-kira begitu. “Mau ngapain di sini? Mau bodoh-bodohi rakyat kami? Pergi nggak, sebelum nyawa melayang.”
Bagaimana sikap Mush’ab? Jiper? Takut? Mundur?
“Sebentar,” jawabnya santai. “Kenapa nggak kita duduk bareng dan dengerin saya bicara? Kalau tertarik, silakan diterima. Kalau nggak tertarik, oke kami nggak lanjutin.”
“Oke.” Usaid sepakat.
Mush’ab mulai membacakan ayat-ayat Alquran dan membicarakan hakikat Islam. Kalimatnya masuk ke dada Usaid, memberikan rasa getar luar biasa. “Alangkah indah apa yang kau katakan. Apa yang harus kulakukan jika aku masuk Islam?”
Dengan bahagia Mush’ab menjawab, “Mandilah, bersihkan pakaianmu, lalu ucapkan dua kalimat syahadat. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah.”
Dari kisah tersebut, saya mendapatkan pesan penting dalam kehidupan. Bagaimana sikap kita terhadap kemewahan harta-harta kita. Selain itu, tetap berbakti kepada orang tua meskipun berbeda pemikiran. Terakhir, menarik perhatian lawan bicara agar dapat memanfaatkan sekecil apa pun dan tetap tenang.
Kalau ada tambahan, boleh ditambah di kolom komentar ya~
---
Sumber:
https://kisahmuslim.com/4799-mushab-bin-umair-teladan-bagi-para-pemuda-islam.html
https://m.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/07/09/m6wfti-kisah-sahabat-nabi-usaid-bin-hudhair-jagoan-yang-dicintai-khalifah-3
Khalid Muhammad Khalid. 2007. 60 Sirah Sahabat Rasulullah saw.. Jakarta: Penerbit Al-I'tishom
11 Comments
Aku gk paham, gimana cara kaka belajar, mengurus FMIPA, dan juga buat blog seperti ini...
ReplyDeleteMantap dah buat ka obyy.
Success.
Aamiin, terima kasih yaa. Mohon doanya terus
DeleteAndai semua lelaki merasakan apa yang dirasakan oleh Mush’ab. Tidak hanya lelaki, wanitapun juga. Nice post :)
ReplyDeleteBegitulah manisnya iman~ semoga kita bisa belajar dari Mush'ab Al-Khair
DeleteYa Allah pengen jadi orang baik yg bermanfaat bagi semua orang...
ReplyDeleteAamiin...
DeleteInspiratif. Setidaknya kita bisa meneladani sifat positif beliau dan tentu sajs juga Rosulullah. Sifat positif, akhlak mulia, dan bermanfaat bagi banyak orang
ReplyDeleteBetul, banyak yang bisa diteladani
DeleteAamiin
ReplyDeleteSirah Nabawiyah sama 60 Sirah Sahabat Rasulullah pernah jadi buku favorit saya pas kuliah, inspiratif dan sering juga menyayat hati.
ReplyDeleteMantap kang. Saya lagi berusaha buat mulai baca itu. Menyelami samudra penuh hikmah
DeleteTerima kasih sudah membaca. Mari berbagi bersama di kolom komentar.
Emoji