“Lihat ke depan deh.”
“Ibunya tidur?” tanya gue menunjuk seorang guru.
“Iya.” Teman gue mengangguk. “Kata mama gue, orang yang capek bisa tidur di mana aja kalau ada kesempatannya.”
Percakapan itu kira-kira membentuk sebuah pola pikir baru di kepala gue: Sibuk artinya bisa tidur di mana saja. Seandainya gue seperti ibu guru tadi, orang-orang ngelihat gue penuh rasa kagum, dan pasti mengira gue adalah orang sibuk ketika melihat gue tertidur di emperan toko, sekaligus bakal melapor satpol pp.
Pola pikir itu akhirnya benar-benar terwujud saat SMA. Sudah beberapa kali gue menceritakan di blog kalau gue sering tidur tidak hanya di kasur rumah saja. Sekadar mengingatkan kembali, sewaktu SMA gue sering tidur di angkot, di masjid, di bangku yang dipepetkan, dan di lantai beralaskan jaket. Bangun-bangun langsung terasa kayak dilumurin ulet bulu. Gatel.
Gue pernah merenungi suatu hal tentang kebiasaan itu.
Rasanya gue sering banget tidur sewaktu SMA. Harusnya, sesuai dengan pola pikir yang terbentuk, gue adalah orang yang super sibuk. Ya, nggak? Masalahnya, setelah gue lulus SMA, gue dulu nyibukin apa aja, sih, sampai suka tidur di tempat sembarangan? Belajar nggak, ngerjain PR nggak, membantu nenek menyeberang jalan juga nggak. Kalau biar dianggap blogger sejati, gue bisa pakai alasan “sibuk ngeblog”. Kenyataannya, nggak juga. Heran juga, dulu gue ngapain aja, ya.
Makanya, gue pengin benar-benar memahami pola pikir itu dengan aksi nyata. Artinya, gue harus sibuk biar bisa tidur sembarangan. Bravo! (ini biar apa, sih?)
Selama kuliah barulah gue merasakan yang namanya tidur sembarangan. Seringnya di angkot. Kalau tidur sambil jalan, alhamdulillah belum pernah.
Pertama, waktu ospek. Hari itu ospek cuma sampai siang. Sesiang-siangnya gue keluar dari kampus, tetap saja sampai di rumah sore hari. Badan gue sakit gara-gara masuk angin. Di perjalanan pulang gue ketiduran di angkot, kelewatan dua gang.
Semakin ke sini, rasanya kebiasaan gue tidur di bus semakin ekstrem. Hampir dipastikan, setiap kali gue naik bus dan dapat tempat duduk, pasti gue tertidur. Gue padahal sudah bertekad untuk tidak tidur di bus, apalagi setelah tahu banyak banget kejahatan yang terjadi di bus. Mirisnya, gue sering banget dapat tempat duduk. Mau nggak mau gue harus manfaatkan ini. Serba salah. Mau ngasih tempat duduk ke orang tua, tapi mikir-mikir lagi. Emang dasar anak muda yang nggak punya kepekaan sosial.
Sore itu, gue benar-benar bertekad untuk nggak tidur. Tekad yang rasanya semakin semangat untuk diwujudkan karena gue ingin belajar untuk praktikum keesokan harinya. Gue mengeluarkan buku panduan praktikum Biologi dari tas. Sungguh menyenangkan belajar di dalam bus. Halaman pertama dilahap dengan keceriaan. Gue senyum-senyum sendiri.
Entah kenapa, tangan ini sulit untuk membalikkan ke halaman berikutnya. Ah, nggak apalah baca dari atas lagi, biar makin paham, batin gue. Gue baca ulang dari paragraf pertama, sampai di pertengahan, gue nggak ingat apa-apa setelahnya.
BUKAN KENA HIPNOTIS WOY!
Gue ketiduran.
Gue cuma sadar selama tidur tadi mulut gue terbuka. Kebiasaan tidur dengan gaya seperti itu sudah pasti membuat gue tertidur pulas. Benar saja, gue sadar cukup lama gue tertidur. Buku yang tadi gue baca masih berada di halaman pertama. Bersamaan dengan bus berhenti, gue melihat ke luar jendela.
“INI DI MANA?” tanya gue dalam hati.
Gue segera bangun dari kursi, lalu keluar bus buat transit ke rute selanjutnya. Agak pusing rasanya kalau diingat kejadiannya. Lagu anak-anak juga jadi berubah karena gue: Bangun tidur kulangsung transit.
Keesokannya, gue mengikuti praktikum Biologi. Sebelum praktikum, kami harus melewati tahap pre-test. Pre-test adalah rintangan pertama sebelum praktikum. Bila lancar dalam pre-test, semua lancar jaya tanpa perlu mikir yang namanya post-test. Nah, post-test adalah kesempatan kedua bagi mereka yang nggak mencapai KKM di pre-test.
Asisten laboratorium atau aslab bersiap membacakan soal pre-test. “Siapkan selembar kertas di atas meja,” kata seorang aslab.
Gue cuma bawa sebatang pulpen. Tidak ada persiapan sama sekali.
“Agung, bagi kertas dong.” Agung langsung mengambil kertas dari bindernya. Agung, entah kenapa, selalu jadi penolong di setiap tulisan gue akhir-akhir ini.
Aslab selesai membacakan lima buah soal. Rata-rata soalnya gampang karena cuma disuruh menyebutkan. Berbekal belajar kemarin di bus dan sedikit pada malam harinya, gue merasa aman-aman saja melewatinya.
“Kerjakan ya.”
AH, TAK SABAR.
“... waktunya lima menit.”
Mau nangis darah rasanya.
Lima soal tadi yang harusnya mudah tiba-tiba jadi sulit. Timbul banyak keraguan dalam mengerjakannya. Otak jadi blank. Gue ngisi sebisa gue.
“Sembilan... delapan... tujuh.”
Gue masih nungguin sampai dia nyebut tiga.
“Lima... masih nggak ada yang mau ngumpulin, nih?”
Gue ngelihat dua soal belum diisi. Aduh, apa ya? Apa ya?! Tujuan dalam penggunaan mikroskop apa, ya ampun?! Lima detik ini gue harus menjawab apa?!
“Untuk mengamati remah-remah hati yang sukses dipatahkan.”
KENAPA SEMPET MIKIR KE SANA?! Kalau aslab ngoreksi ini, kemungkinan responsnya ada dua: 1) Dia ikutan baper, 2) Gue ditolol-tololin.
Gue isi cuma satu tujuan, padahal yang diminta lebih banyak dari itu. Masih nyisa satu soal lagi. Pasrah saja.
Selama praktikum harusnya teman-teman gue waswas melihat keadaan gue (mau banget diperhatiin?).
Gue ngeluh ke teman di sekitar gue, tentunya dengan nada kepasrahan. Biar diperhatiin. “Gue cuma ngisi empat. Satu soal cuma ngisi dikit banget.”
“Sama gue juga,” jawab seorang teman. Sedikit ada kelegaan karena punya teman senasib. “Gue satu soal ngisi sedikit banget. Tapi ngerjain semuanya, sih.”
“Itu mah aman namanya, bangkai,” batin gue.
Benar, harusnya mereka perhatian ke gue. Selama praktikum, benda yang gue pegang adalah silet. Jadi, mereka nggak ada rasa khawatir apa ke gue?
Praktikum hari itu tentang mengamati sel tumbuhan. Dalam kelompok, gue kebagian membuat preparat atau bahan yang akan diamati. Preparat yang digunakan adalah sayatan tipis daun adam hawa (Rhoeo discolor). Menyayat daun ini butuh keterampilan khusus buat mendapatkan hasil setipis mungkin. Salah-salah menyayat, jari bisa-bisa kesilet.
Sepanjang praktikum gue jarang mencoba mengamati lewat mikroskop. Beberapa kali mengamati dan make mikroskop, biar kelihatan ikutan kerja.
Selesai praktikum, aslab ngasih hasil pre-test. “Tenang aja, yang post-test cuma tiga orang kok.” Aslab itu membuka-buka lembaran kertas jawaban tadi. “Yang pre-test adalah...”
Meskipun cuma ngisi empat, gue masih bisa berharap untuk tuntas.
“... Robby.”
Ah elah.
Post-test sendiri ternyata tetap diuji oleh aslab, yang juga seorang mahasiswa. Gue dari awal sudah takut post-test bakal diuji dosen. Post-testnya berjalan dengan banyak ketawa. Ya, aslabnya yang ketawa. Gue mah gugup, karena banyak nggak taunya.
“Tadi kamu ikutan praktikum nggak?”
“Ikut, Kak.”
“Apa aja yang kamu amati?”
“Dinding sel. Udah, itu aja.”
“Masa nggak ada lagi?”
“Saya nggak tau nama-nama bagiannya, Kak.”
Abis bilang begitu, gue khawatir bakal dikasih surat pengembalian mahasiswa kembali ke SMA.
Ya, pokoknya pada akhirnya gue malu karena nggak ngerti-ngerti bagian di dalam sel. Padahal selama SMA udah sering diajarin.
Gue keluar laboratorium dengan lesu. Sedikit nyesel juga karena belajar kurang lama dan kurang pahamin semua materi. Tapi, dengan kejadian kayak begini gue punya peringatan buat diri sendiri. Di luar laboratorium, masih ada teman-teman yang tadi tuntas pre-test. Mereka semua ngasih ucapan semangat.
Oh, ternyata... mereka peduli. Silet di dalam kantong gue simpan baik-baik deh.
Pulang dari kampus, gue berniat untuk tidur di dalam bus. Gue tipikal orang yang mudah sedih, dan sedihnya mudah hilang setelah tidur. Jadi, untuk melepas rasa sedih ini gue ingin tidur di bus. Nggak apa deh walaupun nggak bisa nyenderin kepala ke bahu, dan kepala harus membentur kaca jendela terus-terusan, yang penting nggak sedih lagi.
Bus datang. Di dalamnya, tempat duduk tidak ada yang kosong. Terpaksa gue harus berdiri. Karena sudah diniatkan, gue malah benar-benar ngantuk. Sambil berdiri memegang hand grip, gue sempat tertidur. Untung gue cepat tersadar setelah bus ngerem mendadak. Nggak jadi deh tidur sambil berdiri. Tidur di tempat sembarangan boleh, posisi yang sembarangan jangan.
Setelah menunggu lama, akhirnya gue dapat tempat duduk yang kosong. Gue segera menyambar bangku kosong itu dan memejamkan mata. Nggak perlu waktu lama, gue langsung tertidur. Saat kesadaran gue berkurang, ada yang menepuk bahu gue. Gue tersadar. Aduh, kenapa ini? Gue melihat seisi bus. Cuma gue yang masih duduk.
“Mas, udah di tujuan terakhir, Mas.”
Gue langsung keluar bus. Juga, bangun dan keluar dari kegagalan praktikum pertama.
--
Sumber gambar:
https://twitter.com/idpatrickstar/status/263623501305495553
https://www.tripadvisor.co.uk/TravelersChoice-Beaches-cTop-g1
https://www.aryanto.id/artikel/id/651/mengenal-khasiat-dan-manfaat-daun-adam-hawa-bagi-kesehatan
“Ibunya tidur?” tanya gue menunjuk seorang guru.
“Iya.” Teman gue mengangguk. “Kata mama gue, orang yang capek bisa tidur di mana aja kalau ada kesempatannya.”
Percakapan itu kira-kira membentuk sebuah pola pikir baru di kepala gue: Sibuk artinya bisa tidur di mana saja. Seandainya gue seperti ibu guru tadi, orang-orang ngelihat gue penuh rasa kagum, dan pasti mengira gue adalah orang sibuk ketika melihat gue tertidur di emperan toko, sekaligus bakal melapor satpol pp.
Pola pikir itu akhirnya benar-benar terwujud saat SMA. Sudah beberapa kali gue menceritakan di blog kalau gue sering tidur tidak hanya di kasur rumah saja. Sekadar mengingatkan kembali, sewaktu SMA gue sering tidur di angkot, di masjid, di bangku yang dipepetkan, dan di lantai beralaskan jaket. Bangun-bangun langsung terasa kayak dilumurin ulet bulu. Gatel.
Gue pernah merenungi suatu hal tentang kebiasaan itu.
Rasanya gue sering banget tidur sewaktu SMA. Harusnya, sesuai dengan pola pikir yang terbentuk, gue adalah orang yang super sibuk. Ya, nggak? Masalahnya, setelah gue lulus SMA, gue dulu nyibukin apa aja, sih, sampai suka tidur di tempat sembarangan? Belajar nggak, ngerjain PR nggak, membantu nenek menyeberang jalan juga nggak. Kalau biar dianggap blogger sejati, gue bisa pakai alasan “sibuk ngeblog”. Kenyataannya, nggak juga. Heran juga, dulu gue ngapain aja, ya.
Makanya, gue pengin benar-benar memahami pola pikir itu dengan aksi nyata. Artinya, gue harus sibuk biar bisa tidur sembarangan. Bravo! (ini biar apa, sih?)
Selama kuliah barulah gue merasakan yang namanya tidur sembarangan. Seringnya di angkot. Kalau tidur sambil jalan, alhamdulillah belum pernah.
Berjemur, dulu... |
Semakin ke sini, rasanya kebiasaan gue tidur di bus semakin ekstrem. Hampir dipastikan, setiap kali gue naik bus dan dapat tempat duduk, pasti gue tertidur. Gue padahal sudah bertekad untuk tidak tidur di bus, apalagi setelah tahu banyak banget kejahatan yang terjadi di bus. Mirisnya, gue sering banget dapat tempat duduk. Mau nggak mau gue harus manfaatkan ini. Serba salah. Mau ngasih tempat duduk ke orang tua, tapi mikir-mikir lagi. Emang dasar anak muda yang nggak punya kepekaan sosial.
Sore itu, gue benar-benar bertekad untuk nggak tidur. Tekad yang rasanya semakin semangat untuk diwujudkan karena gue ingin belajar untuk praktikum keesokan harinya. Gue mengeluarkan buku panduan praktikum Biologi dari tas. Sungguh menyenangkan belajar di dalam bus. Halaman pertama dilahap dengan keceriaan. Gue senyum-senyum sendiri.
Entah kenapa, tangan ini sulit untuk membalikkan ke halaman berikutnya. Ah, nggak apalah baca dari atas lagi, biar makin paham, batin gue. Gue baca ulang dari paragraf pertama, sampai di pertengahan, gue nggak ingat apa-apa setelahnya.
BUKAN KENA HIPNOTIS WOY!
Gue ketiduran.
Gue cuma sadar selama tidur tadi mulut gue terbuka. Kebiasaan tidur dengan gaya seperti itu sudah pasti membuat gue tertidur pulas. Benar saja, gue sadar cukup lama gue tertidur. Buku yang tadi gue baca masih berada di halaman pertama. Bersamaan dengan bus berhenti, gue melihat ke luar jendela.
“INI DI MANA?” tanya gue dalam hati.
Gue segera bangun dari kursi, lalu keluar bus buat transit ke rute selanjutnya. Agak pusing rasanya kalau diingat kejadiannya. Lagu anak-anak juga jadi berubah karena gue: Bangun tidur kulangsung transit.
Keesokannya, gue mengikuti praktikum Biologi. Sebelum praktikum, kami harus melewati tahap pre-test. Pre-test adalah rintangan pertama sebelum praktikum. Bila lancar dalam pre-test, semua lancar jaya tanpa perlu mikir yang namanya post-test. Nah, post-test adalah kesempatan kedua bagi mereka yang nggak mencapai KKM di pre-test.
Asisten laboratorium atau aslab bersiap membacakan soal pre-test. “Siapkan selembar kertas di atas meja,” kata seorang aslab.
Gue cuma bawa sebatang pulpen. Tidak ada persiapan sama sekali.
“Agung, bagi kertas dong.” Agung langsung mengambil kertas dari bindernya. Agung, entah kenapa, selalu jadi penolong di setiap tulisan gue akhir-akhir ini.
Aslab selesai membacakan lima buah soal. Rata-rata soalnya gampang karena cuma disuruh menyebutkan. Berbekal belajar kemarin di bus dan sedikit pada malam harinya, gue merasa aman-aman saja melewatinya.
“Kerjakan ya.”
AH, TAK SABAR.
“... waktunya lima menit.”
Mau nangis darah rasanya.
Lima soal tadi yang harusnya mudah tiba-tiba jadi sulit. Timbul banyak keraguan dalam mengerjakannya. Otak jadi blank. Gue ngisi sebisa gue.
“Sembilan... delapan... tujuh.”
Gue masih nungguin sampai dia nyebut tiga.
“Lima... masih nggak ada yang mau ngumpulin, nih?”
Gue ngelihat dua soal belum diisi. Aduh, apa ya? Apa ya?! Tujuan dalam penggunaan mikroskop apa, ya ampun?! Lima detik ini gue harus menjawab apa?!
“Untuk mengamati remah-remah hati yang sukses dipatahkan.”
KENAPA SEMPET MIKIR KE SANA?! Kalau aslab ngoreksi ini, kemungkinan responsnya ada dua: 1) Dia ikutan baper, 2) Gue ditolol-tololin.
Gue isi cuma satu tujuan, padahal yang diminta lebih banyak dari itu. Masih nyisa satu soal lagi. Pasrah saja.
***
Selama praktikum harusnya teman-teman gue waswas melihat keadaan gue (mau banget diperhatiin?).
Gue ngeluh ke teman di sekitar gue, tentunya dengan nada kepasrahan. Biar diperhatiin. “Gue cuma ngisi empat. Satu soal cuma ngisi dikit banget.”
“Sama gue juga,” jawab seorang teman. Sedikit ada kelegaan karena punya teman senasib. “Gue satu soal ngisi sedikit banget. Tapi ngerjain semuanya, sih.”
“Itu mah aman namanya, bangkai,” batin gue.
Benar, harusnya mereka perhatian ke gue. Selama praktikum, benda yang gue pegang adalah silet. Jadi, mereka nggak ada rasa khawatir apa ke gue?
Praktikum hari itu tentang mengamati sel tumbuhan. Dalam kelompok, gue kebagian membuat preparat atau bahan yang akan diamati. Preparat yang digunakan adalah sayatan tipis daun adam hawa (Rhoeo discolor). Menyayat daun ini butuh keterampilan khusus buat mendapatkan hasil setipis mungkin. Salah-salah menyayat, jari bisa-bisa kesilet.
Kalau kata Pangeran Wortel, "F5, dulu..." |
Sepanjang praktikum gue jarang mencoba mengamati lewat mikroskop. Beberapa kali mengamati dan make mikroskop, biar kelihatan ikutan kerja.
***
Meskipun cuma ngisi empat, gue masih bisa berharap untuk tuntas.
“... Robby.”
Ah elah.
***
“Tadi kamu ikutan praktikum nggak?”
“Ikut, Kak.”
“Apa aja yang kamu amati?”
“Dinding sel. Udah, itu aja.”
“Masa nggak ada lagi?”
“Saya nggak tau nama-nama bagiannya, Kak.”
Abis bilang begitu, gue khawatir bakal dikasih surat pengembalian mahasiswa kembali ke SMA.
Ya, pokoknya pada akhirnya gue malu karena nggak ngerti-ngerti bagian di dalam sel. Padahal selama SMA udah sering diajarin.
Gue keluar laboratorium dengan lesu. Sedikit nyesel juga karena belajar kurang lama dan kurang pahamin semua materi. Tapi, dengan kejadian kayak begini gue punya peringatan buat diri sendiri. Di luar laboratorium, masih ada teman-teman yang tadi tuntas pre-test. Mereka semua ngasih ucapan semangat.
Oh, ternyata... mereka peduli. Silet di dalam kantong gue simpan baik-baik deh.
***
Bus datang. Di dalamnya, tempat duduk tidak ada yang kosong. Terpaksa gue harus berdiri. Karena sudah diniatkan, gue malah benar-benar ngantuk. Sambil berdiri memegang hand grip, gue sempat tertidur. Untung gue cepat tersadar setelah bus ngerem mendadak. Nggak jadi deh tidur sambil berdiri. Tidur di tempat sembarangan boleh, posisi yang sembarangan jangan.
Setelah menunggu lama, akhirnya gue dapat tempat duduk yang kosong. Gue segera menyambar bangku kosong itu dan memejamkan mata. Nggak perlu waktu lama, gue langsung tertidur. Saat kesadaran gue berkurang, ada yang menepuk bahu gue. Gue tersadar. Aduh, kenapa ini? Gue melihat seisi bus. Cuma gue yang masih duduk.
“Mas, udah di tujuan terakhir, Mas.”
Gue langsung keluar bus. Juga, bangun dan keluar dari kegagalan praktikum pertama.
--
Sumber gambar:
https://twitter.com/idpatrickstar/status/263623501305495553
https://www.tripadvisor.co.uk/TravelersChoice-Beaches-cTop-g1
https://www.aryanto.id/artikel/id/651/mengenal-khasiat-dan-manfaat-daun-adam-hawa-bagi-kesehatan
14 Comments
Kebiasaanmu mungkin berasal dari org jepang. Mereka tiap ada luang malah tidur tapi gak sampe nyenyak. Apa ya mereka nyebutnya itu yg kayak taichi2. Mungkin bisa dilihat kembali silsilah keluargamu Rob. Mungkin ada yg dari org jepang. Dan kebiasaannya menurun padamu dgn kearifan lokal.
ReplyDeleteTanaman adam dan hawa... jadi keinget pas pelajaran hidroponik. Gurunya bilang namaku diambil dari sana. Adam dan hawa. Rhoeo discolor. Ambil belakangnya aja dan digabung. Hawadiscolor. Karena di badan udah pake color, jadinya hawadis aja. :|
Aku turut menguatkan aja lah... SEMANGAT ROOOOOOOBBBBB dalam menjalani tidurnya.
Jangan-jangan... ada garis keturunan dari Naruto, nih. Hmmmm.
DeleteSeh iya, bener juga itu namanya. Cocok juga cocokloginya. xD
... dan kuliahnya. Aamiin. Tidur emang perlu semangat ya? :(
hmm.. ekstrem ya ketidurannya dimana aja, udah semacam koala. Gue sih belum bpernah ketiduran di bus, kalau perjalanan panjang di pesawat atau kereta dengan tingkat kejahatan yang rendah sih mungkin2 aja :)
ReplyDeleteWaduh, kayak koala. Kumal dong?
DeleteItu transportasi paling nyaman buat tidur sepanjang perjalanan.
sama sih dulu suka banget tidur, sekarang suka juga tapi ngga ada kesempatan huhu
ReplyDeleteRasanya tak lagi sama. :')
DeleteKalau waktu yang diberikan mepet begitu pas tes, otomatis otak bakal kebingungan, sih. Nggak tau kenapa jadi lebih fokus sama waktunya sisa berapa, bukan sisa soal yang mesti dijawab berapa. Jeleknya di situ kalau pola pikirnya akan waktu salah. :(
ReplyDeleteGue malah pernah diajarin pola tidur cepet sewaktu masih kuliah sambil kerja, entah itu apa namanya. Pokoknya tidur cuma 15-30 menit sehabis salat Zuhur dan makan siang. Pas bangun seger lagi udah kayak tidur 7 jam. Dan, itu seringnya dilakukan di masjid atau musala.
Kalau di bus gue mah udah pasti tidur. Soalnya sering minum antimo. Hahaha. Lemah bener taek.
Lebih merasa terdesak begitu daripada dapat pengawas UN yang mukanya galak. :(
DeleteBisa gitu ya? Gue jam segitu waktunya dipake makan. Laper seharian belajaf di kelas. :D
Hem... Yoga si pemabuk. Ukhuk.
Gitu aja gak bisa? Cih. Lemah kamu Rob. *kabur naik buroq*
ReplyDeleteMuahahahaha. *digampar*
Kuatin dong, bg.
DeleteGue tipe orang paling males tidur sembarang. Gara2 insiden foto tidur gue tersebar, gue akhirnya fobia dengan tidur ditempat umum. Tangan2 tidak bertanggung jawab biasanya selalu ada. Waspadalah, waspadalah~
ReplyDeleteSaya termasuk yang punya talenta bisa tidur di mana saja. Tadi pagi ketiduran di lift, sambil berdiri, ikut naik-turun beberapa kali tanpa ada yang membangunkan sampai akhirnya ada teman ikut masuk lift dan bahu saya diguncang-guncang :))))))
ReplyDelete((SEBATANG PULPEN))
ReplyDeleteHADUH KENAPA AKU BARU BACA INI SEKARANG SIK. WKAKAKAKAAK TAIK BANGET. HAHAHAHAHAHAHAK. AKU GIGITIN BIBIR NAHAN KETAWA NIH. ANJIR BANGET KITA SAMA BANGET FAAAAK. AKU JUGA ORANGNYA SUKA TIDUR SEMBARANGAN. APALAGI PAS JAMAN SEKOLAH TUH. HAHAHAHAHAHAHAHAHAK.
Tidur di angkutan umum terus kelewatan tujuan, aku juga pernah. Waktu itu naik angkot bertiga terus dua temanku udah turun. Sisa aku. Terus aku ketiduran. Eh eh eh dibawa sampe ke terminal. Itupun aku bangun karena sopirnya ngebangunin aku nanya, "Dek, turunnya di mana?" Faaaaaak bangeeeet :(
Oh iya, sepemikiran tuh. Cara termudah buat ngilangin sedih itu salah satunya dan seringnya yaitu dengan tidur. :')
Aku curiga deh, Rob. Jangan-jangan kita ini kakak-adek yang terpisah ribuan kilometer? Hem...
gilaaaaa emang kelewatan 2 gang, eh tapi masih mending si daripada kelewatan 2 kecamatan :V
ReplyDeleteTerima kasih sudah membaca. Mari berbagi bersama di kolom komentar.
Emoji