Merasakan Quarter Life Crisis

Akhirnya saya mengerti apa yang disebut orang-orang sebagai quarter life crisis.


Semula saya nggak mengerti apa sebutannya. Namun, beberapa hari yang lalu, ketika ngobrol dengan seorang senior, saya nyeplos kata-kata itu untuk mendefinisikan ciri-ciri yang beliau sebutkan. 

Perasaan merasa gagal, merasa bingung akan masa depan, dan perasaan yang membuat diri seseorang stagnan. Ya, begitu kira-kira yang saya pahami. Ternyata hal ini adalah perasaan yang wajar dan, bisa jadi, dirasakan banyak orang. Kalau lagi lesu dan lemah semangat, kadang-kadang perasaan itu muncul merongrong saya yang berada di usia awal 20.

Baca juga:

Ada sebuah pandangan kalau orang ikut organisasi punya nasib akademik yang buruk. Nggak semua, tapi ada saja yang begitu. Saya termasuk yang akademiknya biasa saja, cenderung menengah ke bawah kalau dari segi prestasi. Namun, saya sering merasakan gejala QLC ketika melihat fenomena-fenomena dari akademik saya.

Mungkin, sesederhana melihat status teman-teman yang sudah seminar proposal skripsi, dan tahu bahwa kita belum memulai apa-apa. Atau, ketika melihat orang lain sudah bisa ke luar negeri dan berprestasi, sementara nasib kita biasa-biasa saja. Akhirnya bikin lemah semangat.

Anehnya (atau harusnya saya bersyukur), saya merasa cepat untuk kembali baik-baik saja. Kalau saya diminta tips buat mengatasinya, saya sendiri bingung bagaimana caranya. Ketika perasaan-perasaan tadi muncul, saya sering merenung. Apalagi di masa pandemi dan posisinya sedang di rumah. Bingung mau cerita ke siapa. Mau cerita ke orang tua, takut. Cerita ke teman, nggak puas kalau cuma chat atau telepon. Akhirnya pikiran makin aneh-aneh. Mau curhat lewat tulisan di blog, malah makin parah, terus nyalah-nyalahin Adsense, “Ini kenapa nggak cair-cair sih?”

Hmm, kayaknya saya aja, sih.

Namun, nggak sampai beberapa lama, hal itu hilang setelah bertemu teman-teman. Memang, saya juga bilang ke teman-teman, “Kuncinya gampang. Gua tuh harus ketemu kalian.” Makan bareng di warkop jam 1 pagi, minum es nutrisari rujak, makan mi goreng dobel. Hasilnya: perut saya membuncit. Jadi jelek karena saya ini orangnya kurus. Tambah stres.

Jadi serba salah.

Dalam satu waktu, saya sering membenarkan lirik lagu “Gagal Bersembunyi” dari The Rain
Gagal, kali ini gagal bersembunyi
Di balik kata-kata bijak
Yang selalu mampu, membuat aku terlihat tangguh
Padahal hancur lebur harapan
Yang terlanjur kupercaya

Saya suka baca-baca kalimat motivasi serta pesan-pesan yang menyemangati. Tapi, semuanya jadi kurang mengena pada satu kondisi. Akhirnya, tambah merenung lagi.

***

Saat menulis ini, saya nggak menyangka bisa sejujur menuliskan ini. Sudah lama juga nggak curhat begini. Sambil merefleksikan bahwa saya pernah ada di posisi demikian, barangkali saya mau cerita bagaimana akhirnya keluar dari perasaan mengganggu itu. Salah satunya dengan mengingat-ingat nasihat.

Baca juga:

Saya ingat pesan seorang guru, “Ujian kita memang begitu. Namanya anak organisasi, keberadaan kita itu untuk memberi manfaat bagi sekitar. Kita bakal diuji sama hal-hal berkilau yang akhirnya bikin kita mikir, “Ah, tau gitu gua nggak usah sibuk ini itu biar bisa ke luar negeri”, dan pikiran-pikiran lain yang bikin kita menyesal. Tetap niatkan yang terbaik dan jalani terus. Allah nggak bakal sia-siakan orang yang memberi manfaat bagi sesamanya.”

Beuh. 

Sejuk banget. Ini nasihat yang paling saya suka. Bukan sekadar kalimat motivasi, tapi ini nge-charge semangat yang mulai redup. Sebuah pesan yang bikin kita kembali mikir, “Oke, hidup sudah ada yang mengatur. Tinggal kita mau gerak atau nggak.” Kalau sudah berpikir begitu, kuncinya tinggal satu: paksa. Mulai bergerak, meskipun sekadar merangkak.

Post a Comment

4 Comments

  1. Fase ini kayaknya bukan fase yang akan berakhir sekali lewat saja, Rob. Ketika sudah mendapatkan pertanyaan dari jawaban, pertanyaan baru akan timbul. Jadi kalo saya sendiri kuncinya yah dijalani saja. Mau dengan peta atau tidak, itu urusan masing-masing.

    Quarter Life Crisis pertama saya malah terjadi saat lulus SMA. Pas waktu mau mendaftar kuliah, ada dilema yang begitu besar. Setelah itu lewat. Pertanyaan besar lainnya, apakah bisa saya mempertangguntjawabkan pilihan saya. Jadi memang untuk saya pribadi, fase ini memang hal yang lumrah untuk mayoritas orang. Kalo saya mah, dijalani aja. Tiap pertanyaan akan dijawab oleh waktu dan pertimbangan. Paling penting adalah untuk tidak menyesali pilihan sendiri

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul. Intinya kuat-kuatkan bertahan dan menanamkan prinsip-prinsip yang disebut kamu di atas

      Delete
  2. Menyambung komentar Rahul, memang betul QLC biasanya akan dialami lebih dari sekali dan dengan tingkatan yang juga beda. Namun balik ke kita lagi akan menghadapi dan melewatinya dengan cara seperti apa, itulah yang akan menentukan output kita nantinya. Anyway, welcome to the club, Robby!

    ReplyDelete
  3. Wah, udah lama ga jalan-jalan ke blog Robby, nih. Haha! Apa kabar Rob sekarang? semoga sehat selalu dan QLCnya bisa teratasi dengan baik ya.

    Persoalan adsense itu aku banget wkwk. Suka ngomel-ngomel tuh dalem hati "nih adsesnse apaan sih angkanya ga naik naik" saking kzlnya ternyata naikin adsense ga segampang itu wkwk.

    Aku saranin deh rob, coba baca buku masih belajarnya iman usman deh. bagus banget buat manusia-manusia yang lagi ngadepin QLC kaya kita ini, supaya fondasinya ga salah. aku sendiri yang memang juga sedang menghadapi QLC jadi rada mendingan setelah baca.

    Intinya sih, mau dimanapun kita nanti berkarya, asalkan kita bahagia dan membawa hal positif walaupun kecil, itu ga masalah. Kita ada jalannya sendiri. asalkan terus bergerak, insya Allah bisa mendapatkan yang terbaik. Yang terbaiknya gimana, yaa itu urusan yang diatas hehe.

    Semangat, Rob!

    ReplyDelete

Terima kasih sudah membaca. Mari berbagi bersama di kolom komentar.

Emoji
(y)
:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:P
:o
:>)
(o)
:p
(p)
:-s
(m)
8-)
:-t
:-b
b-(
:-#
=p~
x-)
(k)