Membangun Tepi Buku

Nggak lama setelah tercetuskan nama Tepi Buku, saya dan Fahmi mulai merancang gerak langkah kami. Kami nggak berdua. Ada tiga orang teman lain yang ikut proyek ini. Kami cukup intens berkumpul untuk merumuskan seperti apa Tepi Buku nanti bergerak. Selepas kuliah di masjid kampus, sampai beberapa kali nginep bareng di kosan Fahmi.


Memang di antara kami berlima, saat itu saya dan Fahmi yang banyak menggarap konsep dan teknis. Tiga orang lainnya membantu share info dan memberi masukan. Nggak jarang mereka yang berperan nyiapin cemilan. Nggak masalah. Setiap orang punya peran. Sekecil apa pun, peran itu tetaplah berharga.

Buah awal dari diskusi kami adalah pembuatan logo. Dengan membuat filosofi yang niat dan skill desain Fahmi, terciptalah satu logo Tepi Buku.


Pasca adanya logo itu, semangat kami, terutama saya, semakin meningkat. Kami nggak terlalu sibuk bahas dari nol. Kami tahu, masalah dari proses pinjam-meminjam buku adalah pada waktu pengembalian. Seperti yang pernah terjadi pada pinjam-meminjam buku Dilan 1990 milik saya. Kami sepakat, hal ini harus diatur.

Saya pernah punya contoh pengalaman dalam meminjam buku. Saya pinjam buku kepada seorang teman. Buku itu cukup langka dan beruntunglah saya punya kenalan yang bisa dipinjami bukunya. Memang, buku itu bukan miliknya, tapi punya orang tuanya.

“Jangan lupa dibalikin ya. Jangan telat.” Begitu pesannya sebelum meminjamkan buku ke saya.

Karena ada kata-kata “punya orangtuanya”, mau nggak mau saya harus nurut. Kalau kelewat, bisa kacau urusan. Artinya, saya berhadapan dengan orang tua teman saya. Pas baca bukunya pun dihati-hati banget. Nggak boleh lecek pokoknya.

Dari pengalaman itu saya belajar untuk membuat kesepakatan antara peminjam dan pemberi pinjaman buku. 

Kembali ke diskusi kami.
“14 hari gimana?”
“Boleh, boleh. Cukuplah dua minggu. Toh, kalau mau perpanjang, bisa bilang lagi.”

Ya, akhirnya kami sepakat untuk memberikan waktu dua pekan untuk waktu peminjaman. Apabila ingin perpanjang waktu peminjaman, si peminjam harus memberi tahu kami selaku pemberi pinjaman. Pada poin ini, kami berusaha memberikan poin edukasi tentang komunikasi. Berkabar. Ya, kunci dalam setiap hubungan untuk menghindari prasangka-prasangka.

Setelah satu set peraturan telah jadi, kami mulai mendaftar buku-buku koleksi pribadi. Saya nggak tulis semua buku saya yang ada di lemari. Hanya sebagian saja. Setelah kami berlima membuat daftar buku, tugas selanjutnya adalah menentukan buku mana saja yang bisa dipinjam. Nggak semua buku yang ada di daftar bisa langsung dipinjam. Kami menentukan dan memilih buku mana saja yang muncul di beranda media sosial kami.

Daftar buku-buku terpilih untuk dipinjam sudah siap. Selanjutnya, kover buku-buku tersebut dipajang di medsos kami. Kami menggunakan Instagram sebagai “lapak” atau “etalase” online. 

Sistemnya, peminjam menghubungi kontak kami—saat itu saya yang menjadi narahubung. Peminjam menuliskan judul buku, kapan mau diambil, dan sampai kapan mau pinjam bukunya. Gratis. Nanti selanjutnya saya akan membalas dan menanyakan tempat untuk janjian mengambil buku. Sistemnya kayak COD-an gitu.

Alhasil, beberapa waktu saya sempat bawa banyak buku di tas. Bukan buku kuliah, tapi buku-buku yang mau dipinjam. Tapi, lebih banyak buku Fahmi yang dipinjam daripada buku saya. Kadang saya minta tolong Fahmi untuk membawanya dari kostan yang nggak jauh dari kampus.

Dalam perjalanannya, apa yang kami lakukan berhasil menarik perhatian teman-teman di sekitar. Ada yang iseng nanya, buku ini ada nggak, bukunya selain yang di IG bisa dipinjam nggak, atau yang lebih membuat terharunya adalah ada orang yang mau minjemin bukunya buat dimasukkan ke dalam daftar buku Tepi Buku. Alhamdulillah.

Para peminjam buku juga cukup tepat waktu dalam peminjamannya. Seperti pada saat meminjam, antara peminjam dan saya akan melakukan janjian di kampus untuk mengembalikan buku.

***

Termin pertama telah usai. Ditandai dengan semua buku yang dipajang telah dikembalikan dan belum ada yang meminjam buku lagi. Mahasiswa FMIPA UNJ saat itu cukup positif melihat apa yang kami lakukan. Entahlah, nggak banyak memang. Tapi kami cukup bahagia dalam melakukan ini. Terlebih bagi saya, ini adalah pengalaman luar biasa bisa bertemu dengan banyak orang. Mau nggak mau, harus ramah ketika mengantarkan buku kepada orang. Karena ini adalah kesempatan baik, maka harus dilakukan dengan cara yang baik.

Ketika kesibukan mulai menerjang kami, rasa semangat yang pernah membara itu mulai pudar. Kami belum memperbarui etalase lagi. Kami tidak menyebar informasi peminjaman buku lagi. Kami, tenggelam pada kesibukan masing-masing.

Termin pertama itu sekaligus menjadi termin yang terakhir kami lakukan.

---
Alhamdulillah, bisa nulis serial tulisan "Memeluk Buku-buku yang Bertumpuk" setelah pekan lalu libur dulu. Dari empat rangkaian tulisan ini topiknya masih bahas tentang pinjam-meminjam buku, bahkan sampai tulisan kelima nanti. Sempat terpikirkan membuatnya lebih rapi dalam bentuk e-book atau... hmm... entahlah. Masih bingung. Rasanya "Memeluk Buku-buku yang Bertumpuk" perlu saya buat lebih "serius". Entah kelak buat saya pribadi atau akan ditemukan orang lain, lalu dikembangkan menjadi ide-ide hebat lainnya. Sebagaimana saya mencetuskan ide Tepi Buku: berasal dari rumusan dalam pengalaman saya tentang buku.

Mungkin kamu yang baru nyasar ke sini, bisa baca tiga tulisan "Memeluk Buku-buku yang Bertumpuk" dengan mengklik label di bawah tulisan ini. Atau bisa langsung masuk ke link di bawah:

Part 0 (intro): Memeluk Buku-buku yang Bertumpuk
Part 1: Dilanku, Dilanmu, Dilan Kita Semua
Part 2: Motivasi Meminjamkan Buku
Part 3: Tempat Pinjam Buku

Post a Comment

15 Comments

  1. Akhirnya nulis tulisan lanjutan. Oiya katanya ada 5 bagian yah, berarti ini tulisan terakhir? Ya kalo dihitung dari 0 ke 4 hehe

    Kalo ngomongin project, teman saya pernah berkata "Berani memulai harus berani mengakhir." Bener banget, kita tidak bisa memaksakan kondisi. Jika memang mengakhiri adalah keputusan terbaik, ya kenapa enggak sih.

    Membaca tulisan ini, saya merasa bersalah, bukan sama pemilik blog ini ya. Saya merasa bersalah telah menerima ajakan-ajakan teman saya untuk membangun suatu project literasi, sebut saja komunitas menulis. Ada tiga ajakan, saya terima semuanya. Perlahan semangat yang hadir di awal pembentukan mulai pudar. Satu dari tiga grup yang saya ikuti sudah tenggelam. Bingung caranya membakar semangat orang lain, sedangkan diri sendiri suka semangat kalo yang lain semangat. Heh kok numpang curhat disini wkwkk

    Intinya semangat terus untuk menulisnya, boleh tuh dijadikan ebook :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sepertinya saya pake sistem bilangan asli kali ini. Hehehe, 0 ndak dihitung

      Yup, saya lihat-lihat banyak hal yang nggak seharusnya bubar atau selesai, tapi kenyataannya ada begitu. Jadi belajar kalau semuanya fana~

      Hayuk, kita buat project bareng~

      Delete
    2. Ditunggu project barengnya :v

      Delete
    3. Boleh nanti kita obrolin lagi~

      Delete
  2. Masih sangat tertarik mengikuti perjalanan Tepi Buku, meski harusnya sebagai orang yang tidak meminjamkan buku tidak bersikap seperti ini. Pertanda apakah ini?

    Eh, untuk yang teman kamu itu yakin bukunya punya orangtua? Soalnya beberapa waktu saya baca tulisan Mojok, salah satu cara biar buku pinjamann dikembaliin adalah membangun psikologi itu pada peminjam. Maksudnya, dengan bilang itu bukan buku kita, pasti akan beda dengan bilangnya buku kita. Ternyata worth itu di kamu. Nyatanya, ketidak-adaan relasi antara kamu dan orangtuanya membuat kamu jadi punya niat balikin didepan. 😁

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ahahah, saya masuk ke pengecualian berarti ya. Orang tuanya baik banget :D

      Delete
  3. Memang kalo masalah pinjam meminjam buku kalo tidak ada perjanjian bisa repot nantinya karena balikin bukunya seenaknya. Saya juga pernah mengalami, teman saya ada yang minjam buku. Setelah sebulan lalu aku kesana eh katanya malah lagi dipinjamkan lagi sama temannya. Bagaimana ini?

    ReplyDelete
  4. Dulu, jaman saya sekolah, ada semacam rumah kecil isinya banyak buku yang bisa dipinjam :D ownernya memang koleksi banyaaaakkkk sekali buku, jadi saya sering ke sana sama teman-teman saya yang hobi baca buku. Kami bayar Rp 3.000 untuk sewa satu buku, biasanya dikasih waktu 1 minggu, tapi kalau mau perpanjang bisa dan kami diberikan selembar kertas berisi kapan kami pinjam dan kapan kami mengembalikan :)))

    Nanti kalau sudah 10x pinjam boleh free pinjam 1 buku tambahan yang mana membuat tempat ini sangat ramai oleh anak-anak sekolah hehehehe. Terus jadi kepikiran, sekarang masih buka apa nggak, ya? :3

    Sayang sekali proyek mas Robby berakhir tapi it's okay, prioritas utama mas Robby saat ini kan menyelesaikan pendidikan. Mungkin pada waktunya nanti apabila ada kesempatan lagi, mas Robby bisa buka tempat persewaan buku yang proper seperti owner yang saya ceritakan di atas :D semangat studinya, ya ~

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah keren itu mbak. Sewa buku, kedengerannya keren. Huehehe. Aamiin, semoga bisa terus bermanfaat ini buku-buku saya di rumah :D

      Delete
  5. Pertama kali mampir di sini salam kenal bung.

    Menyoal minjam buku saya punya pengalaman unik yakni pinjam satu dikasih dua buku. Kenapa dua, gini ceritanya. Jadi teman saya ini punya nama project buku berjalan, yakni menyebar luas gerak buku yang dipinjam. Jika selesainya membaca maka satu buku harus dikembali dan satunya lagi harus dipinjamkan ke orang lain.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Salam kenal bung.

      Wah keren juga idenya bung. Idenya luar biasa~ Jadi pengen tau cerita lebih jauhnya nih hehehe

      Delete
  6. Semoga programnya berjalan sukses, ya ..
    Salut dengan ide menebar banyak ilmu dengan membaca.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin, mas. Walaupun sekarang udah ndak jalan lagi hehehe

      Delete

Terima kasih sudah membaca. Mari berbagi bersama di kolom komentar.

Emoji
(y)
:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:P
:o
:>)
(o)
:p
(p)
:-s
(m)
8-)
:-t
:-b
b-(
:-#
=p~
x-)
(k)