Motivasi Meminjamkan Buku

Sejak kejadian di SMA dengan buku Dilan, saya sedikit trauma meminjamkan buku. Bukan apa-apa, buku-buku itu dibeli dengan perjuangan. Saya sampai rela nggak jajan. Kalau pun jajan, paling cuma beli air mineral sama keripik jagung di koperasi. Kalau diajak teman, “Ayo, Rob, beli makan”, saya jawab, “makan jagung cukup kok.”

Aslinya pengen juga kayak yang lain.

Uang saku saya simpan buat beli buku baru. Semua dilakukan sambil nahan-nahan diri; di saat orang lain bisa bebas ke bioskop pas ada film baru, bisa traktir teman-teman kongkownya terus upload foto ke medsos, saya nggak bisa begitu. Saya memilih nabung buat beli buku bacaan bagus dibanding itu semua. 

Makanya saya nggak rela kalau buku saya jatuh ke tangan yang salah. Misalnya, jatuh ke tangan kiri. Kan nggak baik nerima sesuatu pakai tangan kiri.

Saya hampir nggak percaya lagi buat minjemin buku sejak kejadian Dilan. Begitu juga ketika mau pinjam, semacam ada rasa takut lama mengembalikannya. Pinjam-meminjam buku jadi hal menakutkan buat saya. 


---

Pandangan saya beberapa tahun kemudian berubah. 

Saat itu saya menjadi staf di Badan Eksekutif Mahasiswa Prodi (BEMP) Pendidikan Kimia UNJ. Saya kagum dengan salah satu program, yaitu program peminjaman buku. Sistemnya mirip-mirip perpustakaan. Bukunya beragam. Buku kumpulan tips, novel, dan buku teks kuliah. Agar rapi, semua ini ada tim pengelolanya. Pencatatan rapi tersimpan. Siapa yang meminjam dan mengembalikan rapi tertulis dalam satu buku besar. 

Tahun berikutnya, saat saya naik menjadi ketua umum di organisasi yang sama, saya melirik program ini sebagai sarana meningkatkan minat baca buat mahasiswa. Tentunya, tanpa harus beli keripik jagung dan air mineral di koperasi. Stok buku sudah ada, tinggal pengelolaannya. Memang belum terbayang konsepnya, masih sekadar angan-angan. Saya berharap, hal ini nggak sekadar jadi sesuatu yang biasa saja dan lewat begitu saja. Dari yang saya bayangkan, sekiranya saya bisa membantu kebutuhan orang lain akan membaca. 

Dipikir-pikir, saya seperti mendapat sebuah jawaban atas trauma saya saat SMA. Butuh waktu sekitar 2 tahun untuk menemukan kembali jawaban: kenapa saya meminjamkan buku.

Kembali saya berpikir, bagaimana caranya agar ide saya ini gol. Saya menimbang-nimbang, mungkin belum saatnya saya bawa di BEM. Bingung dan ragu. Sulit menerjemahkan ide ini.

Pada akhirnya, saya nggak terfokus ke program itu. Terbersit dalam pikiran, “Buku di rumah cukup numpuk. Nggak jauh beda sama di sekret." Buku-buku saya, selain yang belum laku dijual, ada yang sengaja saya simpan karena buku itu punya nilai sejarah tersendiri. Entah itu buku pertama yang saya beli, entah itu buku yang suka saya baca berulang, dan lain-lain. Tentu, semuanya dibeli dari hasil berhemat.

“Apa dikelola sendiri aja ya?” batin saya. Perlahan saya mulai sadar, buku-buku di rumah nggak boleh bikin saya cerdas sendiri. Kalau saya senang karena buku, saya nggak boleh nikmatin kesenangannya sendiri.

---

Berawal dari iseng nonton suatu video di YouTube, inspirasi saya muncul.

Inspirasi datang dari perpustakaan Aan Mansur, seorang penulis yang—saat itu—baru saya ketahui.

Di video itu, dijelaskan bahwa perpustakaan tersebut punya keunikannya yang bikin pengunjung betah. Di sana terdapat interaksi. Jadi, orang yang pinjam buku nggak sekadar duduk diam, fokus sendiri baca buku, garuk-garuk kepala, ketiduran di atas buku. Nggak ada interaksi apa-apa. Di sana, ada banyak momen untuk berinteraksi, terutama penjaga perpusnya itu sendiri. Misal, pengunjung bisa bertanya di mana letak buku yang mau dibaca. Atau sekadar ngobrol santai membahas suatu buku.

Buku dan ngobrol. Keren juga, walaupun nggak bisa digabung. Ketika orang baca buku terus diajak ghibah ngobrol, pasti sulit.

Semangat itu yang mau saya hadirkan. Selain mau minjemin buku, saya mau memaksakan diri untuk banyak berinteraksi dengan peminjam.

Kalau saat SMA saya menganggap bahwa diterimanya buku saya untuk dipinjam sama artinya dengan diterima di pergaulan, sekarang sedikit dimodifikasi: saya anggap, agar bisa bergaul, saya harus belajar banyak berinteraksi. Menjadi orang yang tau isi dari suatu buku yang ingin dibaca oleh peminjam, mungkin bisa jadi daya tarik bagi mereka. Saya membayangkan, bagaimana asyiknya saat-saat itu.

"Eh ini bukunya tentang apa?"
"Jadi gini, buku ini bercerita tentang ..." Kemudian saya cerita panjang lebar.
Lalu setelah si peminjam selesai membaca, saya bisa bertanya, "Bagian mana yang paling disuka?" Begitu seterusnya, menjadi pembahasan suatu buku.

Pasti seru.

Sama seperti proses interaksi pada umumnya. Bagaimana dua orang bisa ngobrol lama diawali dengan bertanya waktu. Sekarang jam berapa? Atau, dua orang yang punya cerita panjang dengan mengawali percakapan dari bertanya tujuan perjalanan masing-masing.

Saya kira, buku bisa menjadi hal demikian.

Saya pengin tau langsung dari mereka, buku jenis apa sih yang mereka pengin baca. Atau, interaksi lain yang ... ringan. Kayak teman di kampus pada umumnya: habis ini mau ke mana, abis dari mana, beli makan yang murah di mana.

Mulai saat itu, saya coba menghilangkan rasa trauma meminjamkan buku.

Entahlah. Tapi semuanya terasa mewah dan sulit.

---

Selain dari Aan Mansur, ada lagi contoh yang memotivasi saya untuk mau terbuka lagi meminjamkan buku. Sekadar menguatkan lagi niat saya. 

Kita tahu, sore adalah waktu paling nikmat di kampus. Ibarat prasmanan, kita bebas mau ikut kegiatan apa saja. Ada yang diskusi, ada yang olahraga, ada yang diskusiin olahraga, ada yang olaharaganya diskusi, ada yang rajin diskusi nggak pernah olahraga, ada yang olahraga tapi kebanyakan diskusi. 

Waktu sore juga menjadi taman inspirasi buat saya. Saat itu, saya terpikat dengan sekumpulan orang, bersantai menikmati angin sore. Bercanda-canda, bersuka ria, berdiam membaca sebuah buku. Mereka berkerumun di antara buku-buku bertebaran. Kata saya, pemandangan macam apa ini? Indah sekali...

Oke, lebay.

Di lain hari, seorang kakak tingkat mengirim story di WhatsApp. Isinya buku yang berjajar dengan jarak tertentu. Warna-warni sampul buku tertata di atas konblok, layaknya etalase di toko emas. Lagi-lagi, pemandangan indah sore hari.

Terbisik dalam hati, “Saya mau buat begini juga.”

---
Tulisan ini adalah tulisan kedua dari cerita bersambung yang berjudul "Memeluk Buku-buku yang Bertumpuk". Berkisah tentang perjalanan saya dalam dunia pinjam-meminjam buku.
Tulisan pertama: Dilanku, Dilanmu, Dilan Kita Semua

Post a Comment

9 Comments

  1. Pemandangan langka ini mah. Gak setiap sore ada di kampus saya. Biasanya paling hari sabtu dan minggu digelar tikar yang bersusun buku. Itu pun kadang berbeda-beda yang gelar tikarnya, kadang project anak sosial, project organisasi pergerakan kampus, atau projectnya dinas perempuan bem univ.

    Project teman saya @yuk_pinjambuku juga lumayan sering nangkring di area landmark (logo kampus). Menariknya boleh pinjem buku dengan syarat harus nulisin reviewnya dan upload ke instagram. Project baru, saya akui sangat menarik. Saya belom sempat minjem sih, sudah keburu libur duluan hehe

    Lanjutkan niat baiknya!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Di kampus saya nggak setiap hari juga sih, cuma beberapa kali aja ada pemandangan itu. Hehehe..

      Bagus banget itu. Sayang ya lagi pandemi

      Siap! Doakan istiqomah walau nanti metodenya beda-beda 😁

      Delete
  2. Oh ternyata agak trauma juga minjamin buku gara gara bukunya lama ngga balik.

    Kalo aku sih sebenarnya agak sebal saja kalo buku dipinjam bertahun-tahun baru dibalikin tapi ngga trauma, soalnya dia minjam lagi juga aku kasih, tapi dengan catatan harus cepat dikembalikan. Alhamdulillah setelah itu dia cepat balikin sih, ngga nyampai setahun lebih.😂

    ReplyDelete
    Replies
    1. Alhamdulillah gak sampe trauma ya mas hehehe. Biasanya kalo kedua kalinya pas minjem ada rasa gak enakan karena pernah lama minjemnya 😁

      Delete
  3. Project-nya seru juga, apalagi kalau yang dipinjamkan buku pribadi, dan yang sudah dibaca sama mas Robby, otomatis mas akan lebih mudah untuk berbagi ketika teman yang berminat baca ingin tau kisi-kisi buku yang diminati :D tapi jangan sampai spoiler mas hahahaha nanti nggak jadi pinjam yang ada minta mas Robby jelaskan semua isinya :)))

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul, niatnya begitu. Di tulisan selanjutnya mungkin bakal saya ceritain hehehe

      Delete
  4. Hm :(
    Teringat betapa dosa dan gak tahu dirinya saya dulu zaman SD SMP SMA. Mengklaim diri sebagai kutu buku (yang ga cupu), tapi ga modal sama sekali wkwkkw.

    Kalau gak pinjem koleksi pribadi teman, numpang baca buku yang dipinjam teman di rentalan, pinjam buku perpus, ya koleksi majalah orangtua. Seingat saya, tidak sampai 5 buah buku yang beli pakai duit sendiri. Parah banget.

    Pinjam koleksi pribadi teman pun tidak luput dari masalah :(
    Yang ketumpahan bumbu pempek lah, sampai disitua guru.

    Ya Allaah.

    Tentu saya minta maaf dengan sepenuh hati menyesal, tapi manatahu mereka simpan dendam wkwkwk.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahaha, ceritanya menarik mbak. :D

      Kalo urusan ketumpahan, kadang emosi naik juga sih. Berusaha gak dendam adalah kunci biar gak kapok minjemin buku :D

      Delete
  5. Wajar saja kalau seorang pecinta buku merasa enggan meminjamkan bukunya kepada orang lain. Bagaimanapun, cara pandang setiap orang terhadap buku berbeda.

    Pecinta buku akan memandang benda tersebut sebagai sesuatu yang berharga. Oleh karena itu seringkali mereka menjadi protektif. Sampul lecek saja bisa membuat rasa sakit hadir di dalam hati.

    Tidak sedikit pecinta buku yang menjadi parno terhadap nasib bukunya saking cintanya.

    Tapi, sebenarnya, cara pandang seperti ini bikin jelek diri sendiri.

    Buku adalah buku. Lecek atau tidaknya sebuah buku tidak akan mengurangi nilai kontennya. Nilainya tetap sama, tidak berkurang sedikitpun (kecuali kalau halamannya banyak yang hilang).

    Mirip lah dengan manusia. Jelek atau buruk penampilannya, tidak berarti isinya menjadi jelek juga.

    Dan, saya pikir, saya sudah melewati tahap itu. Dulu juga saya bisa mutung kalau buku rusak, tetapi semasa kuliah, saya sering membeli buku bersampul karton saja, seharga hanya 300 perak di penjual buku bekas.

    Ndilalahnya, ternyata banyak yang isinya bagus padahal buku itu sudah kumel.

    Jadilah sejak itu saya tidak lagi merasa kesal berlebihan kalau buku yang saya pinjamkan rusak. Saya anggap saja, sama seperti manusia yang bisa luka dan menua, buku juga begitu.

    Pada dasarnya kan, buku juga adalah cermonan manusia juga.

    Hadeuh... jadi panjang..

    Maaf ya mas..

    ReplyDelete

Terima kasih sudah membaca. Mari berbagi bersama di kolom komentar.

Emoji
(y)
:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:P
:o
:>)
(o)
:p
(p)
:-s
(m)
8-)
:-t
:-b
b-(
:-#
=p~
x-)
(k)