Cerita Tentang Penerang Hati

Mahasiswa FMIPA UNJ punya tempat favorit buat kumpul, yaitu di belakang gedung FMIPA. Namanya Gedung KH. Hasjim Asj’arie atau lebih akrab disebut GHA.

Bukan tempat ideal sebenarnya. Hanya pelataran biasa dan tempat parkir yang disulap menjadi tempat kumpul.

Memang, pasca pindah dari Kampus B, kami belum pernah bisa merasakan tempat senyaman dulu. Betapa nikmatnya saung-saung diskusi yang dulu pernah ada—begitu yang pernah diceritakan kakak-kakak kami yang dulu merasakan kuliah di Kampus B.

Selain dua tempat itu, ada lagi satu spot favorit, yaitu selasar GHA. Tempat ini setidaknya lebih layak disebut tempat kumpul. Didukung dengan angin sepoi-sepoi dan dekat dengan masjid, rasanya tempat ini menurut saya paling nyaman di FMIPA UNJ.

Setelah disibukkan dengan urusan dunia dan menghabiskan waktu di sana, menyambut panggilan sholat jadi lebih ringan karena jaraknya yang dekat.

Sore itu, kami ada agenda kumpul badan pengurus harian (BPH) BEM se-MIPA di belakang gedung GHA. Saya dan teman-teman BEMP Pendidikan Kimia datang lebih awal daripada yang lainnya.

Kami menunggu rekan-rekan prodi lain. Teman-teman saya, sembari menunggu, berkumpul bermain Ludo di handphone. Saya nggak ikut bergabung.

Saya lebih memilih duduk sendiri di depan pintu gedung. Bukan, saya bukan lagi musuhan dengan mereka—sebagaimana yang sering kita dengar tentang hubungan seorang dengan yang lain di suatu organisasi.

Sambil menunggu agenda dimulai, saya baca Al-Quran di sana.

Setelah mendapatkan beberapa halaman, seorang bapak duduk di sebelah saya. Kehadirannya tidak saya gubris. Saya asyik melanjutkan bacaan.

Sampai ketika beliau mengeluarkan rokok lalu membakarnya, fokus perhatian saya sedikit pecah. “Mau apa dia ke sini?” batin saya.

Kenangan saya jauh melompat ke suatu waktu saat saya kecil. Di sebuah sinedrama di TV, dikisahkan seorang pemuda yang melakukan gendam untuk mendapatkan barang mewah orang lain.

Gampangnya, gendam ini seperti hipnotis. Caranya sangat mudah. Pemuda ini merokok, lalu asapnya disemburkan kepada calon korban, lalu pemuda ini meminta dengan halus. Hap! Barang yang diinginkan langsung dalam genggaman.

“Semoga bukan mau gendam.” Kenangan itu malah jadi merusak pikiran saya.

Seperti orang pada kebanyakan, saya termasuk orang yang nggak kuat dengan asap. Asap rokok terutama. Jangan asap rokok deh, asap sate pun saya nggak kuat. Bedanya, asap sate lebih wangi. Saya tekadkan, dalam waktu dekat saya akan pindah kampus tempat.

Saya akhiri bacaan Al-Quran dan menutupnya. Baru saja saya ingin pergi dari bapak ini, tiba-tiba dia mengucap, “Enak ya bisa baca Quran.”

Saya terkejut.

Mulut saya terkunci, sedangkan telinga terus-menerus berteriak seakan bilang, “Coba, Pak, ulangi. Saya nggak dengar!” Saya berusaha mencerna apa yang beliau katakan. Akhirnya saya cuma bisa tersenyum ke bapak itu.

“Kira-kira mau dibayar berapa buat ajarin gua baca Quran?”

Saya terkejut lagi!

Wajah saya nggak bisa buat biasa aja. Mau bicara, tapi nggak ada kata yang keluar. Beda dengan sama bapak itu yang wajahnya kian santai.

Bagaimana saya nggak kaget, hari itu adalah baru setahun awal saya belajar Quran dan membiasakan membacanya. Baca masih terbata-bata, belum lagi pelafalannya masih belum sempurna. Apalagi buat menghafal, baru sedikit saja dari surat-surat di juz 30 yang baru mulai dihafal ketika kuliah. Jauh dari kriteria orang yang dekat dengan Al-Quran.

Sedangkan, kalimat yang baru saja saya dengar adalah permintaan untuk mengajarkannya membaca Al-Quran.

Mungkin bapak itu paham obrolan kami jadi terasa menegangkan (atau cuma yang merasa). Kemudian kami saling mengobrol hal biasa. Obrolan-obrolan perkenalan. Beliau adalah karyawan di kampus ini dan saya menyebutkan asal program studi saya.

Menjelang akhir pertemuan kami, bapak itu menjelaskan, “Iya, gua mau belajar Quran karena itu penting buat dunia dan akhirat.”

Sebuah kesadaran yang seharusnya membuat saya semangat untuk dekat dengan Al-Quran sebagai orang yang lebih muda. Beruntung bagi saya, dalam tahap perjalanan ini, saya menemukan sebuah hal yang dapat meningkatkan keinginan untuk lebih baik.

Menjadi sebuah penyadaran bagi saya, tidak ada kata terlambat dalam mempelajari Al-Quran.

Saya sempat ragu, mengingat kapasitas diri yang minim. Saya mengatakan kepada bapak itu, di kampus ini ada lembaga atau orang yang lebih tepat untuk didatangi. Namun, setelah mendengarkan alasan-alasannya, saya coba akhirnya untuk memberanikan diri menerima tawarannya.

Tentu, bukan uang orientasinya.

Kemudian di akhir pertemuan kami sore itu, saya bertukar nomor WhatsApp. Saya buat janjian untuk belajar bersama. Meskipun semuanya belum berlanjut lagi, setidaknya, di tempat yang menurut kami (mahasiswa) tidak ideal untuk berkumpul, Allah pertemukan hati-hati kami untuk sama-sama saling bersemangat dalam mempelajari dan lebih dekat dengan Al-Quran.

Ya Allah, kasihanilah kami dengan Al-Quran, dan jadikan Al-Quran bagi kami sebagai pemimpin, cahaya, petunjuk, dan rahmat. Ya Allah, ingatkanlah kami apa yang kami lupa darinya (Al-Quran), dan ajarkan kami apa yang tidak tahu darinya, dan karuniakan kepada kami untuk membacanya siang dan malam dengan cara yang membuat-Mu ridho kepada kami. Dan jadikanlah Al-Quran hujjah bagi kami wahai Tuhan semesta alam.

Post a Comment

3 Comments

  1. Apa kalimat yang tepat? MaasyaaAllaah?

    Semesta, dengan segala takdir yang berkutat di dalamnya dari Allaah sering menghadirkan pertemuan-pertemuan dengan orang atau kejadian dengan diri sendiri yang menakjubkan.

    Yang membuat tertegun.

    Bukan saya dalam pertemuan itu, kamu yang mengalami. Tapi saya ikut tertegun dan mencelos dalam hati, indah.

    Semoga istiqomah dik :)

    ReplyDelete
  2. masyaAllah
    panutan syekali uy

    dari niat untuk bisa mengajarkan orang seperti itu baca Al-Quran, semoga jadi amalan buat lu dan memperlancar lu lagi untuk baca quran.
    *hormat

    ReplyDelete

Terima kasih sudah membaca. Mari berbagi bersama di kolom komentar.

Emoji
(y)
:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:P
:o
:>)
(o)
:p
(p)
:-s
(m)
8-)
:-t
:-b
b-(
:-#
=p~
x-)
(k)