Lift, Tempat Merawat Impian

Di kampus, khususnya di gedung fakultas saya, alhamdulillah sudah disediakan fasilitas lift. Banyak bahasan terkait ini, hingga terdengar di kelas-kelas saat proses belajar. Contohnya, orang naik lift hanya pindah satu lantai dianggap melakukan pemborosan, beberapa orang iseng memencet semua tombol, dan jangan banyak bicara di lift. Yang saya sebut terakhir adalah bagian favorit saya.

Ketika itu disampaikan dosen saya saat semester 2.

Dosen saya bilang, alasannya, apa yang keluar dari mulut kita, bukan hanya menimbulkan kebisingan, tetapi karbondioksida yang nggak diperlukan dalam pernapasan. Coba semuanya ngomong, karbondioksida ngumpul semua. Oksigen makin dikit, karbondioksidanya malah lebih banyak.

Kalau dirasa alasan karbondioksida membingungkan, mungkin yang paling terlihat adalah alasan bising tadi. Beliau mengilustrasikan kira-kira begini:

“Bayangin,” kata beliau penuh semangat, “seandainya ada mahasiswa yang abis ngerjain skripsi, capek dan pusing, lalu di dalam lift dia malah kena berisik, pasti makin nggak enak kondisinya.” Sebagai dosen, beliau sangat peduli mahasiswa.

Tentang bicara di dalam lift, saya jadi ingat salah satu bagian dari tulisan Raditya Dika tentang membuat premis sebuah cerita.

Raditya Dika mengajak para pembacanya untuk membuat premis yang singkat, padat, dan mengena. Seandainya kita kebetulan bertemu pemimpin sebuah penerbitan, kita bisa langsung menjelaskan seluruh isi buku melalui premis yang telah kita buat. “Premis yang baik adalah yang dapat membuat orang tertarik dalam sekian detik. Dalam sekali naik lift,” begitu tulisnya.

Hal ini disebut elevator pitch, yaitu sebuah jenis presentasi yang digunakan untuk mempresentasikan bisnis kita kepada calon kustomer/investor dalam waktu singkat. Istilah ini berasal dari filosofi elevator atau lift yang bergerak cepat dan singkat, namun selama bergerak tersebut kebanyakan orang diam dan tidak ada yang mengajak bicara. Sederhananya, sedikit berkata dapat memengaruhi lawan bicara dalam waktu sebentar.

Dari definisi berikut, saya dilema. Di satu sisi, saya adalah seorang mahasiswa kimia yang sudah paham nggak baiknya banyak bicara di lift. Di sisi lain, saya sulit menolak ajakan orang lain untuk mengobrol. Apalagi kalau topik obrolannya adalah sesuatu yang saya suka.

Saya pernah berada dalam dua momen yang mana membuat saya harus melepas dulu label anak kimia.  Di sana, di ruang persegi yang biasanya muat 20 orang, saya pernah mendapat sebuah semangat merawat impian.



Momen pertama

Saat itu, saya bahagia banget karena habis nulis di website prodi tentang studium generale (tulisannya bisa dibaca di sini: Melalui Menulis, Kita Ikat Ilmu Kita Pahat Peradaban)

Sangat jelas, sumber kebahagiaan saya adalah tema yang diangkat dari studium generale merupakan tema yang saya sukai. Mungkin bisa dibayangkan (bahkan kamu pernah mengalami), ketika kamu mengerjakan sesuatu yang sangat kamu sukai. Kamu cintai. Melakoni penuh dengan obsesi dan ambisi. Ya, begitu rasanya! Kayak mau meledak. Saking gembiranya.

Beberapa hari kemudian, sebelum tulisan itu naik di website, saya bertemu dosen saya yang juga menjabat koordinator prodi Pendidikan Kimia UNJ, Bu Maria. Beliau menyapa saya di dalam lift. “Robby.”

“Iya, Bu.”

“Tulisan kemarin mana?”

Hmmm. Dalam hati sebenarnya nggak enak karena lumayan ketunda kerjaan itu. Tapi, emang mau nggak mau harus cepat dipost. Biar anget ketika disebar ke publik.

“Iya, Bu,” jawab saya, “lagi dikerjakan.”

“Nah, bagus.” Beliau tersenyum. Saya juga. Senang luar biasa pastinya. Dengan obrolan tadi, beliau pasti sedang menunggu tulisan saya, begitu pikir saya. Seumur-umur, tulisan saya paling mentok ditunggu pembaca blog ini. Sekarang, tulisan saya ditunggu dosen. Memang luar biasa manfaat dari menulis.

“Tuh, kamu kayak bapak itu, Bi.” Tiba-tiba Bu Maria bilang begitu. “Bapak” yang beliau maksud adalah narasumber studium generale beberapa waktu lalu, seperti yang saya sebutkan sebelumnya.

“Kamu tulis deh cerita kamu. Apa aja.”

Lift menunjuk angka 2 dan tanda panah ke bawah. Saya masih mencerna maksud kalimat beliau.

Beliau menambahkan, “Tulis, cerita tentang BEM atau apa gitu.”

Saya hening cukup lama setelah Bu Maria berkata demikian. Akhirnya saya jawab, “Siap, Bu.”

Memang, sejak lama saya ingin menulis kisah-kisah saya di kampus selama mengikuti lembaga kemahasiswaan. Kemudian, lift terbuka dan sudah sampai di lantai 1. Saya dan Bu Maria berpisah di sana.


Momen kedua

Kali ini saya nggak banyak bicara. Cuma sekadar pertanyaan basa-basi.

Sore itu saya menggunakan lift. Di dalam lift, ada seorang teman sekelas yang terlihat buru-buru. Dia pulang lebih awal karena harus bersiap untuk keberangkatannya ke Malaysia, mengikuti sebuah kegiatan konfrensi di sana.

Kondisinya saat itu adalah saya sedang sering-seringnya melihat orang ke luar negeri di Instagram, dengan kegiatan sejenis. Hampir setiap hari ngelihat instastory orang di luar negeri. Keren aja, gitu. Yang dilakukan pun bukan sekadar jalan-jalan, tapi sedang memperjuangkan kegiatan prestatif.
Bermaksud mengurangi rasa buru-burunya jadi lebih santai, saya bertanya, “Berangkat kapan?”

“Nanti malem, Rob. Sekitar jam setengah 8.”

“Oooh.”

Obrolan mentok sampai di sana. Saya jadi nggak pengin nanya-nanya lagi karena teringat pesan jangan banyak bicara di lift.

Menuju lantai 1, teman saya melakukan elevator pitch kepada saya. Lift sudah menunjuk angka 1, hanya menunggu sebentar untuk pintunya terbuka. Teman saya bilang, “Tahun depan ikut, Rob.” Lalu dia keluar lift dan berjalan cepat.

Boom! Langkah saya buat berjalan selanjutnya jadi melambat. Seperti ada yang menancap di benak. “Apa iya saya bisa?”

***

Sebetulnya, dua momen keluar lift tadi selalu meninggalkan pertanyaan yang sama di benak saya. Apa bisa? Dan, rasanya bisa-bisa saja asalkan ada usaha. Namun, andaikan saya ingin mengejarnya, saya nggak plek mewujudkan apa yang mereka katakan kepada saya. Saya belum tentu menulis buku tentang BEM seperti yang Bu Maria katakan, juga belum tentu mengikuti jejak teman saya untuk mengikuti konfrensi di Malaysia.

Lebih dari itu, saya mengambil semangat tantangan dari mereka menjadi sebuah target yang lebih luas cakupannya. Momen pertama mengisyaratkan bahwa saya harus mewujudkan impian saya dengan menulis. Menulis apa? Bisa artikel, blog, makalah, dan karena kebetulan yang menyampaikan dosen saya, bisa jadi skripsi. Hehehe.

Momen kedua saya artikan sebagi menebarkan diri ke berbagai tempat. Bukan hanya Malaysia, bukan hanya ikut konfrensi. Karena menjadi berprestasi masih banyak caranya, bukan? Sebagai wujud dari fantasyiru fil ardhi. Bertebaran di bumi Allah.

Ya, setidaknya, di dalam lift itu, saya pernah merasa bersemangat lagi dalam merawat impian.


-----
Sumber: https://www.alona.co.id/bisnis/kenali-elevator-pitch-presentasi-singkat-untuk-menarik-customer-atau-investor/

Post a Comment

4 Comments

  1. Terkadang, Hal yang tidak terencana dan diremehkan bisa membuat sesuatu hal yg luar biasa. Seperti contoh, J.K. Rowling yang dengan sabar menunggu keretanya macet. Terlintas dalam hati dan otaknya untuk membuat cerita yang sampai saat ini paling laris sepanjang masa. Semua ada baik buruknya, tergantung kondisinya saja

    Mantap bang tulisannya, menurut saya, Berbicara di dalam lift bisa baik jika hanya terdiri dari beberapa orang saja dan buruk jika lift sedang penuh wkwkwk

    ReplyDelete
  2. Gue tertarik dengan bahasan premisnya. Kalau di lift soalnya gue hampir selalu diam.

    ReplyDelete
  3. Wawasan baru yang gue tau kalau di lift jangan terlalu banyak bicara. Pantes kenapa setiap di lift banyak orang selalu diam, selain dari suaranya yang redup udara jadi suaranya mantul, terdengar sempit.

    ReplyDelete

Terima kasih sudah membaca. Mari berbagi bersama di kolom komentar.

Emoji
(y)
:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:P
:o
:>)
(o)
:p
(p)
:-s
(m)
8-)
:-t
:-b
b-(
:-#
=p~
x-)
(k)