Seharusnya Bukan Ini yang Saya Catat di Kelas Biologi

Alasan gue mau masuk IPA adalah karena gue penasaran dengan Biologi.

Wah, alasan yang sungguh ilmiah. Padahal, nggak gitu-gitu amat, sih.

Waktu kecil, teman-teman gue, selain manusia, adalah tumbuh-tumbuhan. Nggak cuma itu, gue juga suka main apa aja yang ada di luar rumah. Di mes, tempat tinggal gue dulu, kebetulan selalu ada orang bakar sampah setiap sore. Nah, di situ gue suka main. Memang, bukannya main layangan atau kelereng, gue malah sibuk ketemu asap. Sekarang jadi takut sama asap.

Gue biasanya ngelelehin sedotan, main masak-masakan, dan nyirem-nyirem thinner ke api biar nyalanya besar. Nggak jelas banget permainan gue dulu. Yang paling gue inget pas main masak-masakan adalah masak pasir. Jadi, tutup kaleng bekas di atasnya ada pasir, dipanasin. Terus, setelah pasir cukup panas, wadah tadi gue jadikan alas di kurungan ayam-ayam kecil. Alhasil ayam-ayam itu lompat-lompat kepanasan sambil kaget, “ORANG! ORANG! ORANG!”

(Perhatian: Kebanyakan nonton acara sulap The Master dapat mengikis rasa kasih sayang terhadap makhluk hidup. Siapa suruh ngejagoin Limbad.)

Karena merasa dekat dengan alam (baru sebatas itu aja, belum sampai naik-naik gunung atau ekspedisi ke gurun pasir), membuat gue senang belajar Biologi. Senang dalam artian: gue cuma senang dengarin aja. Belajarnya nggak mau. Apalagi kalau pelajaran tentang organ-organ hewan atau manusia, gue nyerah. Ketertarikan gue paling mengarah ke tumbuh-tumbuhan. Gue senang nyari tahu tentang cara mencangkok, kultur jaringan, dan hidroponik. Lingkungan-lingkungan gitu gue suka.

Bagi gue, ngedengarin seseorang menjelaskan tentang tumbuh-tumbuhan serasa nonton Animal Planet.

(Nah, kalau Animal Planet, kan, khusus hewan. Kalau tumbuhan apa? Bantu jawab, ya!)

Mata pelajaran khusus Biologi baru gue dapatkan di SMA. Bukannya jadi siswa paling pintar di kelas karena sudah senang Biologi sejak kecil, gue malah jadi siswa paling bahagia. Kayaknya, sih, begitu. Gue nggak peduli jadi pintar atau nggak, yang penting senang dengerin orang jelasin materi, entah guru atau teman. Makanya, hal yang sering gue lakukan saat di kelas Biologi adalah hanya mencatat. Mencatat apa yang nggak seharusnya dicatat.



Baru-baru ini gue nemuin satu buku catatan mirip diari. Sebuah halaman di dalamnya terdapat catatan bertinta merah. Gue membaca catatan itu sambil bergumam, “Kok gue sempet-sempetnya nyatet hal nggak penting ini?”

Kalau direka ulang saat itu, gue lagi bosen-bosennya belajar. Walaupun merasa senang dengarin orang jelasin materi, rasa bosan akhirnya hinggap juga. Di kelas, sambil dengerin guru Biologi ngomong di muka kelas, gue malah nyoret-nyoret buku, nyatet hal-hal nggak penting. Mirip-mirip sama tipe orang yang seneng gambar saat bosan belajar di kelas. Karena nggak bisa menggambar, gue lebih milih nulis-nulis hal nggak penting di belakang buku.

Guru Biologi menjelaskan soal teori seleksi alam yang dikemukakan Lamarck.

Beliau menjelaskan, menurut Lamarck, pada zaman dahulu di dunia ini hanya ada jerapah berleher pendek. Kita tahu, sekarang jerapah lehernya panjang. Mungkin karena sering bohong pas beli gorengan; bilangnya dua biji ngambilnya dua karung. Tenggorokannya kena azab.

Lanjutnya, leher jerapah bisa panjang karena dedaunan yang ada dalam jangkauan lama-lama menjadi habis. Akibatnya, yang tersisa di pohon hanyalah daun-daun tinggi, kemudian memaksa jerapah untuk mendongak agar mendapatkan daun yang lebih tinggi (makanannya). Secara alami, leher-leher itu menjadi panjang dengan sendirinya, hingga keturunannya sekarang.

Bukan penjelasan itu yang gue catat di buku diari, melainkan sebuah ilustrasi kasus, yang tiba-tiba kepikiran, dari apa yang dijelaskan tadi oleh guru Biologi.

Tertulis di buku itu: “Kalau saja manusia mengalami hal serupa, seharusnya kaki manusia semakin ke sini menjadi lebih kuat karena kami (manusia) berjalan lebih jauh mencari warteg (sumber makanan) yang murah.”

Harusnya gue kasih contoh itu ke guru Biologi. Apa reaksinya, ya, kira-kira? Hehehe.

Masih pada halaman dan hari yang sama, gue mencatat sebuah momen ketika guru Biologi gue membicarakan soal tinggi badan.

“Padahal, adik dan kakak saya tinggi-tinggi,” ujar guru Biologi, jujur. Posturnya memang tidak tinggi, sekitar 150 sentimeter. “Ya, meskipun bedanya paling cuma 10 senti.”

Guru Biologi gue, wanita, orangnya jarang ngasih lelucon atau, bisa dikatakan, sepanjang pelajaran selalu serius. Tipikal ibu-ibu yang nggak suka bercanda. Tapi, beliau bukan orang yang suka marah-marah. Wajahnya penuh welas asih sehingga kita, muridnya, menjadi hormat padanya.

“Kalau saya lebih tinggi, 10 sentimeter saja, mungkin saya nggak di sini (sekolah—mengajar).”

Hening cukup panjang. Memang, kebiasaan di kelas Biologi seperti ini. Nggak ada yang berani menjawab. Sayup-sayup gue mendengar ada suara, “Jadi polisi!”

Beliau berkata, “Jadi model majalah.”

Temen-temen gue terdiam. Beberapa ada yang manggut-manggut. Gue malah antusias sendiri dalam hati sambil senyum-senyum, “Wih, keren! Gokil! Aseeek dah!”

Beliau menambahkan, “... majalah Trubus.”

Suasana kelas semakin sunyi. Gue malah ketawa bersama orang-orang yang ngerti apa itu majalah Trubus.

Majalah Trubus adalah majalah khusus tentang tanaman-tanaman dan pertanian. Gue memang belum pernah baca, tapi mendengar kata “Trubus” yang sudah identik dengan toko tanaman di daerah gue, gue nggak bisa berhenti ngelupain jokes “mau jadi model majalah Trubus”.

Hah, bisa-bisanya. Di balik wajahnya yang serius, bisa bercanda juga si Ibu.

Kalau lagi bete sama pelajaran, kira-kira apa yang kalian lakukan?

Post a Comment

21 Comments

  1. Guru lu bisa joke juga yah, tuh siswa pada gak peduli banget, setidaknya ketawa dikit biar gak sunyi-sunyi amat.Kasian tuh guru dalam hati bilang "sial, pada gak ada yang ketawa. Padahal udah bikin joke dari seminggu yang lalu"

    ReplyDelete
    Replies
    1. ((bikin joke dari seminggu yang lalu))

      Untung gue dan beberapa temen ngerti. Kocak, sih, orangnya serius tiba-tiba ngejokes. Gue ketawa deh. :))

      Delete
  2. Ckckkc sungguh tua sekali kau tahu apa itu majalah Trubus. Makasih ya udah dikasih tahu. AKhirnya nambah ilmu baru. *ngumpetin umur Muahahaha. \(w)/

    ReplyDelete
  3. Jokes yang sangat segmented sekali majalah trubus wkwk

    Hmmm kayaknya lo cocok jadi mahasiswa pertanian nih, Rob. Biar mengembangkan teknik cangkok visitor dan hidroponik receh google

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makanya yang ketawa sedikit. :D

      Itu bisa dipertimbangkan. Google hidroponik? Google tanpa media air, ya? Bisaaa.

      Delete
  4. Kalo lu suka tumbuh-tumbuhan, sebaiknya memang baca majalah trubus, ROb. Biar lu bisa jadi model juga. XD

    Nah, kalo mau belajar soal Hidroponik, bolehlah sama Pangeran.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tahapan dalam hidup saya harus baca majalah Gadis dulu, Pange.

      Boleh nih. Asiik. Tapi jauh ke Bengkalis. :(

      Delete
  5. LU deket dengan alam apa deket ayam sebenernya, Rob? dan itu ayamnya kaget karena panasnya apa karena ada elu, Rob? ayamnya smape teriak orang2 gitu. xD

    LU nonton agro tv aja lah daripada nanyain planetnya taneman.

    guru biologi saya malah paling doyan becanda. abis nikah beliau ngajar biologi bab reproduksi. dia bilang menyesal karena menikah. nyesal kenapa baru sekarang, karena nikah itu nyaman banget.

    trus, karena murid di kelas pada peak, beliau pernah dapat pertanyaan, "kenapa kalo lagi bereproduksi, manusia sering goyang (tarik-tusuk) padahal itu bukan rukun dari berhubungan? ini beneran. xD beliau jawab, demi menambah kenikmatan. beliau sudah membuktikannya sendiri terus bilang, "kalo masih gapercaya, ada yang mau praktikum sama saya?" ini bisa masuk pahal pelecehan seksual sepertinya, tapi kelas malah ketawa. ditambah lagi ada yg bilang mau. lakik yg tunjuk tangan.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya dan ayam sohiban. :D

      Guru biologi parah banget bercandanya. Kelewatan. Huhuhu. Itu bercandaannya gak terlalu works kalau dia ngajar di STM. :')

      Delete
  6. Dari dulu nggak tertarik sama IPA. Gue tujuannya jurusan Bahasa. Sayang, nggak kesampaian. :')

    Bangke Majalah Trubus. Jokes itu gue denger pertama kali pas baru lulus SMK dari temen gue yang anak SMA. Sekarang keluar lagi jokes ginian. XD

    ReplyDelete
    Replies
    1. Itu jokes jarang banget keluar, ya? Soalnya majalah Trubus juga baru tau gara-gara belio. :))

      Delete
  7. Sering denger majalah Trubus, tapi baru tau kalau itu majalah tentang taneman. Yang aku tau banget itu majalah Bobo. Sungguh, pengetahuanku akan jokes kuno minim dan dangkal sekali :(

    ((MAIN MASAK-MASAKKAN))

    Nanti kapan-kapan main lagi ya. Kita main bertiga. Aku, kamu, sama Dek..... (silakan isi titik-titik itu sendiri)

    Baca ini jadi kangen sama guru Biologi waktu SMP. Guruku malah kebalikan dari guru kamu. Galak, tegas, terus suaranya melengking. Sekelasan diam semua kalau dia ngajar. Diam takut, bukan diam segan hormat :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya malah cuma sekali baca majalah Bobo. Itu pun karena nemu bekas punya tetangga. :(

      Main masak-masakan, kuy. Sama Dek Afi, kan? Yang tulisannya viral itu. Afi Hinata.

      Serem amat, yak. Pasti kalau pelajaran reproduksi gak suka bercanda. :(

      Delete
  8. Bhahahahahahaa gokiiil. Model majalah trubus. =D

    Btw, aku ga suka kalo thinnernya disiramin ke api biar apinya besar. Aku lebih suka celupin tangan ke dalam kaleng thinner. Dingin dingin sejuk gitu hahaha. Trus sampe rumah, tanganku anget anget gilaaa :(
    Mau nangis pas ngerasain anget di tangan itu.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Eeeh, kenapa dicelupin ke dalam thinner dah? Dingin lagi. Ckckck, emang iya, sih. Enak. Hahaha. Kalau lagi praktik melukis pake cat minyak, thinner biasanya dibawa.

      Delete
  9. Gue juga suka banget Biologi. Tapi kesukaan itu tidak menjadi alasan yang kuat gue memilih jurusan IPA, dan milih jurusan Bahasa. Lah gimana, di IPA cuma suka Biologi padahal ada banyak lagi pelajaran yang lain. Trus Fisika sama Kimia mau dikemanain? Wkwkwkwkw.

    ReplyDelete
  10. apakah ini tanda-tanda kalau mau masuk kuliah di jurusan biologi juga?
    mong-omong ketrima snmptn dimana rob? *pertanyaan sensitif sepertinya ini* hihi

    walaupun saya juga anak ipa (abal-abal), honestly ngga begitu suka sama semua mapel di jurusan ini. iyalah, hapalan lemah. itung-itungan juga ngga jago. satu-satunya penyelamat yaitu mapel seni rupa doang, gegara dari dulu emang suka gambar :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nggak. Saya nggak lolos SNMPTN! *nangis di pojokan*

      Yuhuuu. Anak seni rupa. Berarti, seni untuk tidak mengingat sesuatu dong? Itu seni lupa.

      Delete

Terima kasih sudah membaca. Mari berbagi bersama di kolom komentar.

Emoji
(y)
:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:P
:o
:>)
(o)
:p
(p)
:-s
(m)
8-)
:-t
:-b
b-(
:-#
=p~
x-)
(k)